LANDASAN
PENDIDIKAN
Secara leksikal, landasan
berarti tumpuan, dasar atau alas, karena itu landasan merupakan tempat bertumpu
atau titik tolak atau dasar pijakan. Titik tolak atau dasar pijakan ini dapat bersifat
material (contoh: landasan pesawat terbang); dapat pula bersifat konseptual
(contoh: landasan pendidikan). Pendidikan antara lain dapat dipahami dari dua
sudut pandang, pertama dari sudut praktek sehingga kita mengenal istilah
praktek pendidikan, dan kedua dari sudut studi sehingga kita kenal istilah
studi pendidikan. [1]
Dalam pengembangan pendidikan diperlukan
landasan-landasan yang kokoh dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara
ilmiah, teknologi maupun etik relegius. Salah satu problema pendidikan dalam
pengembangannya adalah foundational problems, istilah ini diartikan sebagai
alas, landasan sebagai dasar atau tumpuan. Pondasi sebagai alas atau pijakan
berdirinya sesuatu hal memiliki dua sifat, ada yang bersifat material dan ada
yang bersifat konseptual. Suyitno dalam Muhaimin mengemukakan bahwa
pondasi/landasan yang bersifat matrial antara lain berupa landasan pacu pesawat
terbang( bangunan yang kokoh ), sedang pondasi/landasan pendidikan yang
bersifat konseptual antara lain berupa dasar Negara Indonesia yaitu “ Pancasila
dan UUD 1945, Sisdiknas, Peraturan Pemerintah tentang pendidikan, dan sebagainya.[2] Dengan
demikian pendidikan sebagai usaha sadar yang sistematis selalu bertolak dari
sejumlah landasan serta pengindahan sejumlah asas-asas tertentu. Landasan dan
asas tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama terhadap
perkembangan manusia dan masyarakat bangsa tertentu. Beberapa landasan pendidikan
tersebut adalah landasan filosofis, sosiologis, dan kultural, yang sangat memegang
peranan penting dalam menentukan tujuan pendidikan.[3]
Selanjutnya landasan ilmiah dan teknologi akan mendorong pendidikan untuk
menjemput masa depan. Landasan Pendidikan Nasional sebagai wahana dan sarana
pembangunan negara dan bangsa dituntut mampu mengantisipasi proyeksi kebutuhan
masa depan.
Tuntutan tersebut sangat bergayut dengan aspek-aspek
penataan pendidikan nasional yang bertumpu pada basis kehidupan masyarakat
Indonesia secara komprehensif.Untuk kepentingan penataan pendidikan nasional yang
benar-benar merefleksi kehidupan bangsa, maka sangat penting pendidikan
nasional memiliki beberapa landasan yaitu; landasan filosopis, sosilogis,
yuridis dengan penajaman landasan tersebut secara kritis dan fungsional.
- Landasan Filosofis
Landasan Filosofis merupakan landasan yang berkaitan
dengan makna atau hakikat pendidikan, yang berusaha menelaah masalah-masalah
pokok seperti: Apakah pendidikan itu, mengapa pendidikan itu diperlukan, apa
yang seharusnya menjadi tujuannya, dan sebagainya.
Landasan filosofis adalah
landasan yang berdasarkan atau bersifat filsafat (falsafat, falsafah). Kata
filsafat (philosophy) bersumber dari bahasaYunani, philein berarti mencintai,
dan sophos atau sophis berarti hikmah, arif, atau bijaksana. filsafat artinya
cinta akan kebijaksanaan atau kebenaran. Filsafat pendidikan ialah hasil
pemikiran dan perenungan secara mendalam samapai akar-akarnya mengenai
pendidikan.[4]
Empat mazhab filsafat pendidikan yang besar pengaruhnya
dalam pemikiran dan penyelenggaraan pendidikan. Keempat mazhab filsafat
pendidikan itu (Redja Mudyahardjo, et. Al., 1992: 144-150; Wayan Ardhana, 1986
:14-18) adalah:
a) Esensialisme.
Esensialisme merupakan mazhab filsafat pendidikan yang
menerapkan prinsip idealisme dan realisme secara eklektis. Berdasarkan
eklektisisme tersebut tersebut maka esensialisme tersebut menitikberatkan
penerapan prinsip idealisme atau realisme dengan tidak meleburkan
prinsip-prinsipnya
b) Perenialisme
Ada persama antara perenialisme dan esensialisme, yakni
keduanya membela kurikulum tradisional yang berpusat pada mata pelajaran yang
poko-pokok (subject centered). Perbedaannya ialah perenialisme menekankan
keabadian teori kehikamatan, yaitu:
1). Pengetahuan yang benar (truth)
2). Keindahan (beauty)
3). Kecintaan kepada kebaikan (goodness)
c) Pragmatisme dan Progresivisme
Prakmatisme adalah aliran filsafat yang memandang segala
sesuatu dari nilai kegunaan praktis, di bidang pendidikan.Progresivisme yaitu
perubahan untuk maju. Manusia akan mengalami perkembangan apabila berinteraksi
dengan lingkungan sekitarnya berdasarkan pemikiran
d) Rekonstruksionisme
Rekonstruksionalisme adalah suatu kelanjutan yang logis
dari cara berpikir progresif dalam pendidikan. Individu tidak hanya belajar
tentang pengalaman-pengalaman-pengalaman kemasyarakatan masa kini disekolah,
tapi haruslah memelopori masyarakat kearah masyarakatbaru yang diinginkan.[5]
Nasution (1982) menyebut manfaat filsafat pendidikan
adalah sebagai berikut:
·
Filsafat pendidikan dapat
menentukan arah (direction) akan ke mana anak didik di bawa. Sekolah ialah
suatu lembaga yang didirikan oleh masyarakat untuk mendidik anak bangsa sesuai
dengan harapan dan cita cita masyarakat tersebut.
·
Dengan adanya tujuan
pendidikan, yang diwarnai oleh filsafat pendidikan yang dianut, kita mendapat
gambaran yang jelas tentang hasil( output) yang harus dicapai dalam program
pendidika. Pribadi anak didik yang bagaimanakah yang akan di tempa dalam
garapan pendidikan.
·
Filsafat pendidikan
menentukan cara dan proses untuk mencapai tujuan pendidikan yang ingin dicapai.
·
Filsafat dan tujuan
pendidikan akan memberi kesatuan yang bulat
(unity0 tentang segala upaya pendidikan yang dilakukan. Garapan
pendidikan dilaksanakan secara sistemik,berkesinambungan, serta berhubungan
erat satu sama lain.
·
Filsafat dan tujuan
pendidikan memungkinkan para pengelola pendidikan melakukan penilaian tentang segala
upaya yang telah dilaksanakan dalam implementasi pendidikan.[6]
Filsafat pendidikan nasional Indonesia berakar pada
nilai-nilai budaya yang terkandung pada Pancasila. Nilai Pancasila tersebut
harus ditanamkan pada peserta didik melalui penyelenggaraan pendidikan nasional
dalam semua level dan tingkat dan jenis pendidikan. Nilai-nilai tersebut bukan
hanya mewarnai muatan pelajaran dalam kurikulum tetapi juga dalam corak
pelaksanaan. Rancangan penanaman nilai budaya bangsa tersebut dibuat sedemikian
rupa sehingga bukan hanya dicapai penguasaan kognitif tetapi lebih penting
pencapaian afektif. Lebih jauh lagi pencapaian nilai budaya sebagai landasan
filosopis bertujuan untuk mengembangkan bakat, minat dan kecerdasan dalam
pemberdayaan yang seoptimal mungkin. Dua hal yang dipertimbangkan dalam
menentukan landasan filosopis dalam pendidikan nasional Indonesia. Pertama,
adalah pandangan tentang manusia Indonesia sebagai:
a. Makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan segala fitrahnya.
b. Makhluk individu dengan segala hak dan kewajibannya.
c. Makhluk sosial dengan segala tanggung jawab yang hidup
di dalam masyarakat yang pluralistik baik dari segi lingkungan sosial budaya,
lingkungan hidup dan segi kemajuan Negara kesatuan Republik Indonesia di
tengah-tengah masyarakat global yang senantiasa berkembang dengan segala
tantangannya.[7]
Kedua pendidikan nasional
dipandang sebagai pranata sosial yang selalu berinteraksi dengan kelembagaan
sosial lain dalam masyarakat.
Kedua pandangan filosopis
tersebut menjadikan pendidikan nasional harus ditanggung oleh semua fihak,
sehingga pendidikan dibangun oleh semua unsur bangsa yang dapat berkontribusi
terhadap unsur pranata sosial lainnya. Secara mendasar dapat ditegaskan bahwa
landasan filosopis Pancasila dalam sistem pendidikan nasional menempatkan
peserta didik sebagai makhuk yang khas dengan segala fitrahnya dan tugasnya
menjadi agen pembangunan yang berharkat dan bermartabat.[8]
Oleh karena itu landasan filosopis pendidikan nasional memberikan penegsan
bahwa penyelenggaraan pendidikan nasional di Indonesia hendaknya mengimplementasikan
ke arah:
a.
Sistem pendidikan
nasional Indonesia yang bertumpu pada norma persatuan bangsa dari segi sosial,
budaya, ekonomi dan memlihara keutuhan bangsa dan negara.
b.
Sistem pendidikan
nasional Indonesia yang proses pendidikannya memberdayakan semua institusi
pendidikan agar individu dapat menghargai perbedaan individu lain, suku, ras,
agama, status sosial, ekonomi dan golongan sebagai manifestasi rasa cinta tanah
air. Dalam hal ini pendidikan nasional dipandang sebagai bagian dari upaya
nation character building bagi bangsa Indonesia.
c.
Sistem pendidikan
nasional Indonesia yang bertumpu pada norma kerakyatan dan demokrasi.
Pendidikan hendaknya memberdayakan pendidik dan lembaga pendidikan untuk
terbentuknya peserta didik menjadi warga yang memahami dan menerapkan prinsip
kerakyatan dan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Prinsip
kerakyatan dan demokrasi harus tercermin dalam input-proses penyelenggaraan
pendidikan Indonesia.
d.
Sistem pendidikan
nasional Indonesia yang bertumpu pada norma keadilan sosial untuk seluruh warga
negara Indonesia. Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan menjamin pada
penghapusan bentuk diskriminatif dan menjamin terlaksananya pendidikan untuk
semua warga negara tanpa kecuali.
e.
Sistem pendidikan
nasional yang menjamin terwujudnya manusia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa,
menjunjung tinggi hak asasi manusia, demokratis, cinta tanah air dan memiliki
tanggungjawab sosial yang berkeadilan. Dengan demikian Pancasila menjadi dasar
yang kokoh sekaligus ruh pendidikan nasional Indonesia.[9]
- Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis pendidikan juga merupakan analisis
ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola interaksi sosial di dalam sistem
pendidikan. Kegiatan pendidikan itu merupakan suatu proses interaksi antar
pendidik dengan peserta didik, antara generasi satu dengan generasi yang
lainnya. Kajian sosiologi pendidikan sangat esensial, karena merupakan sarana
untuk memahami sistem pendidikan dengan keseluruhan hidup masyarakat. Landasan
sosiologi pendidikan merupakan asumsi-asumsi yang bersumber dari kaidah-kaidah
sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan
Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiologi pendidikan
meliputi empat bidang:
1) Hubungan pendidikan
dengan aspek masyarakat lain,yang mempelajari:
·
Fungsi pendidikan dalam
kebudayaan
·
Hubungan sisitem
pendidikan dan proses kontrol sosiala dengan sstem kekuasaan lain
·
Fungsi pendidikan dalam
memelihara dan mendorong proses sosial dan perubahan kebudayaan
·
Hubungan antar kelas
sosial
·
Fungsional pendidikan
formal yang mencakup hubungan dengan ras,kebudayaam dan kelompok kelompok dalam
masyarakat
2) Hubungan kemanusiaan
di sekolah yang meliputi:
·
Sifat kebudayaan dalam
sekolah yang khusus dan berbeda dengan kebudayaan di luar sekolah
·
Pola interaksi dan
struktur masyarakat sekolah
3) Pengaruh sekolah pada
perilaku anggotanya,yang mempelajari:
·
Peranan sosial guru
·
Sifat kepribadian guru
·
Pengaruh kepribadian guru
terhadap tingkah laju sisiwa
·
Fungsi sosial sekolah
pada sosialisasi anak anak
4) Sekolah dalam
komunitas,mempelajari pola interaksi antara sekolah dalam komunitasnya yang meliputi:
·
Pelukisan komunitas sekolah
sepertti tampaknya dalam prganisasi sekolah
·
Analisis tentang proses
pendidikan seperti tampak pada kaum sosila tak terpelajar
·
Hubungan antara sekolah
dan komunitas dalam fungsi pendidikannya
·
Faktor faktor demografi
dan ekologi dalam organisasi sekolah[10]
Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi
antara dua individu bahkan dua generasi, yang memungkinkan dari generasi
kegenerasi berikutnya mengembangkan diri searah dengan perkembangan dan
kemajuan masyarakat pada zamannya.[11]
Oleh karena itu dalam mengahdapi kondisi seperti itu, lembaga pendidikan harus
diberdayakan bersama dengan lembaga sosial lainnya. Dalam hal ini pendidikan
disejajarkan dengan lembaga ekonomi, politik sebagai pranata kemasyarakatan,
pembudayaan masyarakat belajar (society learning) harus dijadikan sarana
rekonstruksi sosial. Apabila perencanaan pendidikan yang melibatkan masyarakat
bisa tercapai maka patologi sosial setidaknya terkurangi. Hasrat masyarakat
untuk belajar semakin meningkat.
Sistem pendidikan nasional hendaknya melibatkan berbagai
elemen masyarakat, meskipun pemerintah telah menyiapkan dana khusus untuk pembangunan
dibidang pendidikan, namun jika pendidikan akan ditingkatkan mutu atau
kualitasnya, maka otomatis peran serta masyarakat sangat dibutuhkan bahkan menentukan.
Demikian pula apabila pendidikan hanya terarah pada tujuan pembelajaran murni
pada aspek kognitif, afektif tanpa mengaitkan dengan kepentingan sosial,
politik dan upaya pemecahan problem bangsa, maka pendidikan tidak akan mampu
dijadikan sebagai sarana rekonstruksi sosial.[12]Dalam
kaitannya dengan perluasan fungsi pendidikan lebih jauh, maka diperlukan
pengembangan sistem pendidikan nasional yang didasarkan atas kesadaran kolektif
bangsa dalam kerangka ikut memecahkan problem sosial. Masalah yang kini sedang
dihadapi bangsa adalah masalah perbedaan sosial ekonomi sehingga pendidikan
dirancang untuk mengurangi beban perbedaan tersebut. Aspek sosial lainnya
seperti ketidaksamaan mengakses informasi yang konsekuensinya akan mempertajam kesenjangan
sosial dapat dieleminir melalui pendidikan.
- Landasan Kultural
Menurut Nana Sudjana(
1989) menyebutkan tiga gejala yang diwujudkan dalam kebudayaan umat manusia,
berupa:
1)
Ide dan gagasan seperti:
konsep, nilai, norma, peraturan sebagai hasil cipta dan karya manusia.
2)
Kegiatan seperti tindakan
yang berpla dari manusia dalam masyarakat.
3)
Hasil karya cipta
manusia.
oleh karena pendidikan
merupakan suatu proses budaya, maka garapannya akan senantiasa dalam upaya
membina dan mengembangkan cipta, rasa, dan karsa ke dalam tiga wujud diatas [13]
Pendidikan selalu terkait dengan manusia, sedangkan
setiap manusia selalu menjadi anggota masyarakat dan pendukung kebudayaan
tertentu. Oleh karena itu dalam Undang undang RI no. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat
2 ditegaskan bahwa, pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasar
Pancasila dan undang-undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945, yang
berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap
terhadap perubahan zaman. Kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal
balik, kebudayaan dapat diwariskan dengan jalan meneruskan kepada generasi
penerus melalui pendidikan. Sebaliknya pelaksanaan pendidikan ikut ditentukan
oleh kebuadayaan masyarakat dimana proses pendidikan berlangsung.
- Landasan
Psikologis
Landasan psikologis pendidikan adalah suatu landasan
dalam proses pendidikan yang membahas berbagai informasi tentang kehidupan
manusia pada umumnya serta gejala-gejala yang berkaitan dengan aspek pribadi
manusia pada setiap tahapan usia perkembangan tertentu untuk mengenali dan
menyikapi manusia sesuai dengan tahapan usia perkembangannya yang bertujuan
untuk memudahkan proses pendidikan. Kajian psikologi yang erat hubungannya
dengan pendidikan adalah yang berkaitan dengan kecerdasan, berpikir, dan belajar
Pemahaman peserta didik utamanya yang berkaitan dengan
aspek kejiwaan, merupakan faktor keberhasilan untuk pendididkan. Dalam maksud
itu, Psikologi menyediakan sejumlah informasi/kebutuhan tentang kehidupan
pribadi manusia pada umumnya serta gejala-gejala yang berkaitan dengan aspek
pribadi.
Seperti di kemukakakn
teori A.maslow kategori kebutuhan menjadi enam kategori meliputi:
·
Kebutuhan fisiologis:
kebutuhan memmpertahankan hidup (makan, tidur, istrahat dan sebagainya)
·
Kebutuhan rasa aman:
kebutuhan terus nenerus merasa aman dan bebasdari ketakutan
·
Kebutuhan akan cinta dan
pengakuan:kebutuhan rasa kasih sayang dalam kelompok
·
Kebutuhan akan alkuturasi
diri:kebutuhan akan potensi potensi yang di miliki
·
Kebutuhan untuk
mengetahui dan di pahami:kebutuhan akan berkaitan dengan penguasaan iptek[14]
Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan manusia,
sehingga psikologis merupakan salah satu landasan yang penting dalam
pendidikan. Memahami peserta didik dari aspek psikologis merupakan salah satu
faktor keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu hasil kajian dalam penemuan
psikologis sangat diperlukan penerapannya dalam bidang pendidikan, umpamanya
pengetahuan tentang urutan perkembangan anak. Setiap individu memiliki bakat,
minat, kemampuan, kekuatan, serta tempo dan irama perkembangan yang berbeda
dengan yang lainnya.[15] Sebagai
implikasinya pendidikan tidak mungkin memperlakukan sama kepada peserta didik.
Penyusunan kurikulum harus berhati-hati dalam menentukan jenjang pengalaman
belajar yang akan dijadikan garis-garis besar program pengajaran serta tingkat
keterincian bahan belajar yang digariskan.
- Landasan Ilmiah dan Teknologi
Landasan yang sangat
mempengaruhi pendidikan adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek). Hal yang patut diakui, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam beberapa dasawarsa terakhir ini maju dengan pesat, sebagai buah dari
kegiatan penelitian dalam bidang ilmu murni (pure science) dan ilmu terapan
(applied science ) yang berkembang pesat pula. Perkembangan ini jelas memberi
pengaruh dan dampak yang sangat kuat pada garapan pada pendidikan. Ilmu
pengetahuan dan teknologi merupakan isi kurikulum pendidikan. Sedaangkan isi
kurikulum itu sendiri merupakan kumpulan pengalaman manusia yang disusun secara
sistematis dan sistemik sebagai hasil atau buah karya kebudayaan manusia. Oleh
sebab itu, pemilihan sebaran dan isi kurikulum dalam suatu program pendidikan
pada hakikatnya merupakan penetapan isi atau ilmu yang relevan dengan kebutuhan
dan tuntutan masyarakat. Di sini berarti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sebagai salah satu karakteristik perkembangan sosial budaya, akan
memberi corak dan warna bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
pendidikan.[16]
Pendidikan serta ilmu pengetahuan
dan teknologi mempunyai kaitan yang erat. Seperti diketahui IPTEK menjadi isi
kajian di dalam pendidikan dengan kata lain pendidikan berperan sangat penting
dalam pewarisan dan pengembangan iptek. Dari sisi lain setiap perkembangan
iptek harus segera diimplementasikan oleh pendidikan yakni dengan segera
memasukkan hasil pengembangan iptek ke dalam isi bahan ajar. Sebaliknya,
pendidikan sangat dipengaruhi oleh cabang-cabang iptek (psikologi, sosiologi,
antropologi, dsb). Seiring dengan kemajuan iptek, maka pada umumnya ilmu
pengetahuan juga berkembang sangat pesat.[17]
[1] Hamzan Junaid, op.cit, hh.90-91.
[2] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam (
Cet. I,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011),
h. 4.
[3] Umar Tirtarahardja dkk(Cet 2),op.cit,h.92.
[4] Umar Tirtarahardja(Cet 1), op.cit. h.83.
[5] Ibid. hh. 88-91.
[6] Dinn Wahyudin ,dkk, pengantar pendidikan, (Cet.16, Jakarta:
Universitas Tebuka, 2006),h.2.5.
[7] Rubino Rubiyanto, dkk, Landasan Pendidikan,( Cet. I, Surakarta;
Muhammadiyah University Press, 2003). H.
17. Dan lihat Reka Joni, T, Penelitian
Pengembangan dalam Pembaruan Pendidikan
( Cet. I, Jakarta: P2LPTK Ditjen Depdikbud,
1984) h.45.
[8] Umar Tirtarahardja,op. cit, h. 92.
[9] Rubino Rubiyanto, dkk, op.cit, h. 19.
[10] Umar Tirtarahardja, op. cit, h. 95-96.
[11] Ibid,h. 96.
[12] Ibid, h. 98
[13] Dinn Wahyudin ,dkk, op.cit, h.2.7.
[14] Umar Tirtarahardja,op. Cit,h. 104.
[15]Ibid,h. 105.
[16] Dinn Wahyudin ,dkk, op.cit, hh.2.9-2.10.
[17] Umar Tirtarahardja,op. cit, h. 113.
0 komentar:
Post a Comment