Pages

Wednesday, June 12, 2019

LANDASAN PENDIDIKAN


LANDASAN PENDIDIKAN 
Secara leksikal, landasan berarti tumpuan, dasar atau alas, karena itu landasan merupakan tempat bertumpu atau titik tolak atau dasar pijakan. Titik tolak atau dasar pijakan ini dapat bersifat material (contoh: landasan pesawat terbang); dapat pula bersifat konseptual (contoh: landasan pendidikan). Pendidikan antara lain dapat dipahami dari dua sudut pandang, pertama dari sudut praktek sehingga kita mengenal istilah praktek pendidikan, dan kedua dari sudut studi sehingga kita kenal istilah studi pendidikan. [1]
Dalam pengembangan pendidikan diperlukan landasan-landasan yang kokoh dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah, teknologi maupun etik relegius. Salah satu problema pendidikan dalam pengembangannya adalah foundational problems, istilah ini diartikan sebagai alas, landasan sebagai dasar atau tumpuan. Pondasi sebagai alas atau pijakan berdirinya sesuatu hal memiliki dua sifat, ada yang bersifat material dan ada yang bersifat konseptual. Suyitno dalam Muhaimin mengemukakan bahwa pondasi/landasan yang bersifat matrial antara lain berupa landasan pacu pesawat terbang( bangunan yang kokoh ), sedang pondasi/landasan pendidikan yang bersifat konseptual antara lain berupa dasar Negara Indonesia yaitu “ Pancasila dan UUD 1945, Sisdiknas, Peraturan Pemerintah tentang pendidikan, dan sebagainya.[2] Dengan demikian pendidikan sebagai usaha sadar yang sistematis selalu bertolak dari sejumlah landasan serta pengindahan sejumlah asas-asas tertentu. Landasan dan asas tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama terhadap perkembangan manusia dan masyarakat bangsa tertentu. Beberapa landasan pendidikan tersebut adalah landasan filosofis, sosiologis, dan kultural, yang sangat memegang peranan penting dalam menentukan tujuan pendidikan.[3] Selanjutnya landasan ilmiah dan teknologi akan mendorong pendidikan untuk menjemput masa depan. Landasan Pendidikan Nasional sebagai wahana dan sarana pembangunan negara dan bangsa dituntut mampu mengantisipasi proyeksi kebutuhan masa depan.
Tuntutan tersebut sangat bergayut dengan aspek-aspek penataan pendidikan nasional yang bertumpu pada basis kehidupan masyarakat Indonesia secara komprehensif.Untuk kepentingan penataan pendidikan nasional yang benar-benar merefleksi kehidupan bangsa, maka sangat penting pendidikan nasional memiliki beberapa landasan yaitu; landasan filosopis, sosilogis, yuridis dengan penajaman landasan tersebut secara kritis dan fungsional.
  1. Landasan Filosofis
Landasan Filosofis merupakan landasan yang berkaitan dengan makna atau hakikat pendidikan, yang berusaha menelaah masalah-masalah pokok seperti: Apakah pendidikan itu, mengapa pendidikan itu diperlukan, apa yang seharusnya menjadi tujuannya, dan sebagainya.
Landasan filosofis adalah landasan yang berdasarkan atau bersifat filsafat (falsafat, falsafah). Kata filsafat (philosophy) bersumber dari bahasaYunani, philein berarti mencintai, dan sophos atau sophis berarti hikmah, arif, atau bijaksana. filsafat artinya cinta akan kebijaksanaan atau kebenaran. Filsafat pendidikan ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam samapai akar-akarnya mengenai pendidikan.[4]
Empat mazhab filsafat pendidikan yang besar pengaruhnya dalam pemikiran dan penyelenggaraan pendidikan. Keempat mazhab filsafat pendidikan itu (Redja Mudyahardjo, et. Al., 1992: 144-150; Wayan Ardhana, 1986 :14-18) adalah:
a)         Esensialisme.
Esensialisme merupakan mazhab filsafat pendidikan yang menerapkan prinsip idealisme dan realisme secara eklektis. Berdasarkan eklektisisme tersebut tersebut maka esensialisme tersebut menitikberatkan penerapan prinsip idealisme atau realisme dengan tidak meleburkan prinsip-prinsipnya

b)         Perenialisme
Ada persama antara perenialisme dan esensialisme, yakni keduanya membela kurikulum tradisional yang berpusat pada mata pelajaran yang poko-pokok (subject centered). Perbedaannya ialah perenialisme menekankan keabadian teori kehikamatan, yaitu:
1). Pengetahuan yang benar (truth)
2). Keindahan (beauty)
3). Kecintaan kepada kebaikan (goodness)
c)         Pragmatisme dan Progresivisme
Prakmatisme adalah aliran filsafat yang memandang segala sesuatu dari nilai kegunaan praktis, di bidang pendidikan.Progresivisme yaitu perubahan untuk maju. Manusia akan mengalami perkembangan apabila berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya berdasarkan pemikiran

d)         Rekonstruksionisme
Rekonstruksionalisme adalah suatu kelanjutan yang logis dari cara berpikir progresif dalam pendidikan. Individu tidak hanya belajar tentang pengalaman-pengalaman-pengalaman kemasyarakatan masa kini disekolah, tapi haruslah memelopori masyarakat kearah masyarakatbaru yang diinginkan.[5]
Nasution (1982) menyebut manfaat filsafat pendidikan adalah sebagai berikut:
·      Filsafat pendidikan dapat menentukan arah (direction) akan ke mana anak didik di bawa. Sekolah ialah suatu lembaga yang didirikan oleh masyarakat untuk mendidik anak bangsa sesuai dengan harapan dan cita cita masyarakat tersebut.
·      Dengan adanya tujuan pendidikan, yang diwarnai oleh filsafat pendidikan yang dianut, kita mendapat gambaran yang jelas tentang hasil( output) yang harus dicapai dalam program pendidika. Pribadi anak didik yang bagaimanakah yang akan di tempa dalam garapan pendidikan.
·      Filsafat pendidikan menentukan cara dan proses untuk mencapai tujuan pendidikan yang ingin dicapai.
·      Filsafat dan tujuan pendidikan akan memberi kesatuan yang bulat  (unity0 tentang segala upaya pendidikan yang dilakukan. Garapan pendidikan dilaksanakan secara sistemik,berkesinambungan, serta berhubungan erat satu sama lain.
·      Filsafat dan tujuan pendidikan memungkinkan para pengelola pendidikan melakukan penilaian tentang segala upaya yang telah dilaksanakan dalam implementasi pendidikan.[6]
Filsafat pendidikan nasional Indonesia berakar pada nilai-nilai budaya yang terkandung pada Pancasila. Nilai Pancasila tersebut harus ditanamkan pada peserta didik melalui penyelenggaraan pendidikan nasional dalam semua level dan tingkat dan jenis pendidikan. Nilai-nilai tersebut bukan hanya mewarnai muatan pelajaran dalam kurikulum tetapi juga dalam corak pelaksanaan. Rancangan penanaman nilai budaya bangsa tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga bukan hanya dicapai penguasaan kognitif tetapi lebih penting pencapaian afektif. Lebih jauh lagi pencapaian nilai budaya sebagai landasan filosopis bertujuan untuk mengembangkan bakat, minat dan kecerdasan dalam pemberdayaan yang seoptimal mungkin. Dua hal yang dipertimbangkan dalam menentukan landasan filosopis dalam pendidikan nasional Indonesia. Pertama, adalah pandangan tentang manusia Indonesia sebagai:
a. Makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan segala fitrahnya.
b. Makhluk individu dengan segala hak dan kewajibannya.
c. Makhluk sosial dengan segala tanggung jawab yang hidup di dalam masyarakat yang pluralistik baik dari segi lingkungan sosial budaya, lingkungan hidup dan segi kemajuan Negara kesatuan Republik Indonesia di tengah-tengah masyarakat global yang senantiasa berkembang dengan segala tantangannya.[7]
Kedua pendidikan nasional dipandang sebagai pranata sosial yang selalu berinteraksi dengan kelembagaan sosial lain dalam masyarakat.
Kedua pandangan filosopis tersebut menjadikan pendidikan nasional harus ditanggung oleh semua fihak, sehingga pendidikan dibangun oleh semua unsur bangsa yang dapat berkontribusi terhadap unsur pranata sosial lainnya. Secara mendasar dapat ditegaskan bahwa landasan filosopis Pancasila dalam sistem pendidikan nasional menempatkan peserta didik sebagai makhuk yang khas dengan segala fitrahnya dan tugasnya menjadi agen pembangunan yang berharkat dan bermartabat.[8] Oleh karena itu landasan filosopis pendidikan nasional memberikan penegsan bahwa penyelenggaraan pendidikan nasional di Indonesia hendaknya mengimplementasikan ke arah:
a.              Sistem pendidikan nasional Indonesia yang bertumpu pada norma persatuan bangsa dari segi sosial, budaya, ekonomi dan memlihara keutuhan bangsa dan negara.
b.             Sistem pendidikan nasional Indonesia yang proses pendidikannya memberdayakan semua institusi pendidikan agar individu dapat menghargai perbedaan individu lain, suku, ras, agama, status sosial, ekonomi dan golongan sebagai manifestasi rasa cinta tanah air. Dalam hal ini pendidikan nasional dipandang sebagai bagian dari upaya nation character building bagi bangsa Indonesia.
c.              Sistem pendidikan nasional Indonesia yang bertumpu pada norma kerakyatan dan demokrasi. Pendidikan hendaknya memberdayakan pendidik dan lembaga pendidikan untuk terbentuknya peserta didik menjadi warga yang memahami dan menerapkan prinsip kerakyatan dan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Prinsip kerakyatan dan demokrasi harus tercermin dalam input-proses penyelenggaraan pendidikan Indonesia.
d.             Sistem pendidikan nasional Indonesia yang bertumpu pada norma keadilan sosial untuk seluruh warga negara Indonesia. Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan menjamin pada penghapusan bentuk diskriminatif dan menjamin terlaksananya pendidikan untuk semua warga negara tanpa kecuali.
e.              Sistem pendidikan nasional yang menjamin terwujudnya manusia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa, menjunjung tinggi hak asasi manusia, demokratis, cinta tanah air dan memiliki tanggungjawab sosial yang berkeadilan. Dengan demikian Pancasila menjadi dasar yang kokoh sekaligus ruh pendidikan nasional Indonesia.[9]

  1. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis pendidikan juga merupakan analisis ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola interaksi sosial di dalam sistem pendidikan. Kegiatan pendidikan itu merupakan suatu proses interaksi antar pendidik dengan peserta didik, antara generasi satu dengan generasi yang lainnya. Kajian sosiologi pendidikan sangat esensial, karena merupakan sarana untuk memahami sistem pendidikan dengan keseluruhan hidup masyarakat. Landasan sosiologi pendidikan merupakan asumsi-asumsi yang bersumber dari kaidah-kaidah sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan
Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiologi pendidikan meliputi empat bidang:
1) Hubungan pendidikan dengan aspek masyarakat lain,yang mempelajari:
·         Fungsi pendidikan dalam kebudayaan
·         Hubungan sisitem pendidikan dan proses kontrol sosiala dengan sstem kekuasaan lain
·         Fungsi pendidikan dalam memelihara dan mendorong proses sosial dan perubahan kebudayaan
·         Hubungan antar kelas sosial
·         Fungsional pendidikan formal yang mencakup hubungan dengan ras,kebudayaam dan kelompok kelompok dalam masyarakat
2) Hubungan kemanusiaan di sekolah yang meliputi:
·         Sifat kebudayaan dalam sekolah yang khusus dan berbeda dengan kebudayaan di luar sekolah
·         Pola interaksi dan struktur masyarakat sekolah
3) Pengaruh sekolah pada perilaku anggotanya,yang mempelajari:
·         Peranan sosial guru
·         Sifat kepribadian guru
·         Pengaruh kepribadian guru terhadap tingkah laju sisiwa
·         Fungsi sosial sekolah pada sosialisasi anak anak
4) Sekolah dalam komunitas,mempelajari pola interaksi antara sekolah    dalam komunitasnya yang meliputi:
·         Pelukisan komunitas sekolah sepertti tampaknya dalam prganisasi sekolah
·         Analisis tentang proses pendidikan seperti tampak pada kaum sosila tak terpelajar
·         Hubungan antara sekolah dan komunitas dalam fungsi pendidikannya
·         Faktor faktor demografi dan ekologi dalam organisasi sekolah[10]
Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara dua individu bahkan dua generasi, yang memungkinkan dari generasi kegenerasi berikutnya mengembangkan diri searah dengan perkembangan dan kemajuan masyarakat pada zamannya.[11] Oleh karena itu dalam mengahdapi kondisi seperti itu, lembaga pendidikan harus diberdayakan bersama dengan lembaga sosial lainnya. Dalam hal ini pendidikan disejajarkan dengan lembaga ekonomi, politik sebagai pranata kemasyarakatan, pembudayaan masyarakat belajar (society learning) harus dijadikan sarana rekonstruksi sosial. Apabila perencanaan pendidikan yang melibatkan masyarakat bisa tercapai maka patologi sosial setidaknya terkurangi. Hasrat masyarakat untuk belajar semakin meningkat.
Sistem pendidikan nasional hendaknya melibatkan berbagai elemen masyarakat, meskipun pemerintah telah menyiapkan dana khusus untuk pembangunan dibidang pendidikan, namun jika pendidikan akan ditingkatkan mutu atau kualitasnya, maka otomatis peran serta masyarakat sangat dibutuhkan bahkan menentukan. Demikian pula apabila pendidikan hanya terarah pada tujuan pembelajaran murni pada aspek kognitif, afektif tanpa mengaitkan dengan kepentingan sosial, politik dan upaya pemecahan problem bangsa, maka pendidikan tidak akan mampu dijadikan sebagai sarana rekonstruksi sosial.[12]Dalam kaitannya dengan perluasan fungsi pendidikan lebih jauh, maka diperlukan pengembangan sistem pendidikan nasional yang didasarkan atas kesadaran kolektif bangsa dalam kerangka ikut memecahkan problem sosial. Masalah yang kini sedang dihadapi bangsa adalah masalah perbedaan sosial ekonomi sehingga pendidikan dirancang untuk mengurangi beban perbedaan tersebut. Aspek sosial lainnya seperti ketidaksamaan mengakses informasi yang konsekuensinya akan mempertajam kesenjangan sosial dapat dieleminir melalui pendidikan.

  1.  Landasan Kultural
Menurut Nana Sudjana( 1989) menyebutkan tiga gejala yang diwujudkan dalam kebudayaan umat manusia, berupa:
1)      Ide dan gagasan seperti: konsep, nilai, norma, peraturan sebagai hasil cipta dan karya manusia.
2)      Kegiatan seperti tindakan yang berpla dari manusia dalam masyarakat.
3)      Hasil karya cipta manusia.
oleh karena pendidikan merupakan suatu proses budaya, maka garapannya akan senantiasa dalam upaya membina dan mengembangkan cipta, rasa, dan karsa ke dalam tiga wujud diatas [13]
Pendidikan selalu terkait dengan manusia, sedangkan setiap manusia selalu menjadi anggota masyarakat dan pendukung kebudayaan tertentu. Oleh karena itu dalam Undang undang RI no. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 2 ditegaskan bahwa, pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasar Pancasila dan undang-undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap perubahan zaman. Kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal balik, kebudayaan dapat diwariskan dengan jalan meneruskan kepada generasi penerus melalui pendidikan. Sebaliknya pelaksanaan pendidikan ikut ditentukan oleh kebuadayaan masyarakat dimana proses pendidikan berlangsung.

  1.  Landasan Psikologis
Landasan psikologis pendidikan adalah suatu landasan dalam proses pendidikan yang membahas berbagai informasi tentang kehidupan manusia pada umumnya serta gejala-gejala yang berkaitan dengan aspek pribadi manusia pada setiap tahapan usia perkembangan tertentu untuk mengenali dan menyikapi manusia sesuai dengan tahapan usia perkembangannya yang bertujuan untuk memudahkan proses pendidikan. Kajian psikologi yang erat hubungannya dengan pendidikan adalah yang berkaitan dengan kecerdasan, berpikir, dan belajar
Pemahaman peserta didik utamanya yang berkaitan dengan aspek kejiwaan, merupakan faktor keberhasilan untuk pendididkan. Dalam maksud itu, Psikologi menyediakan sejumlah informasi/kebutuhan tentang kehidupan pribadi manusia pada umumnya serta gejala-gejala yang berkaitan dengan aspek pribadi.
Seperti di kemukakakn teori A.maslow kategori kebutuhan menjadi enam kategori meliputi:
·         Kebutuhan fisiologis: kebutuhan memmpertahankan hidup (makan, tidur, istrahat dan sebagainya)
·         Kebutuhan rasa aman: kebutuhan terus nenerus merasa aman dan bebasdari ketakutan
·         Kebutuhan akan cinta dan pengakuan:kebutuhan rasa kasih sayang dalam kelompok
·         Kebutuhan akan alkuturasi diri:kebutuhan akan potensi potensi yang di miliki
·         Kebutuhan untuk mengetahui dan di pahami:kebutuhan akan berkaitan dengan penguasaan iptek[14]
Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan manusia, sehingga psikologis merupakan salah satu landasan yang penting dalam pendidikan. Memahami peserta didik dari aspek psikologis merupakan salah satu faktor keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu hasil kajian dalam penemuan psikologis sangat diperlukan penerapannya dalam bidang pendidikan, umpamanya pengetahuan tentang urutan perkembangan anak. Setiap individu memiliki bakat, minat, kemampuan, kekuatan, serta tempo dan irama perkembangan yang berbeda dengan yang lainnya.[15] Sebagai implikasinya pendidikan tidak mungkin memperlakukan sama kepada peserta didik. Penyusunan kurikulum harus berhati-hati dalam menentukan jenjang pengalaman belajar yang akan dijadikan garis-garis besar program pengajaran serta tingkat keterincian bahan belajar yang digariskan.

  1.  Landasan Ilmiah dan Teknologi
Landasan yang sangat mempengaruhi pendidikan adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Hal yang patut diakui, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam beberapa dasawarsa terakhir ini maju dengan pesat, sebagai buah dari kegiatan penelitian dalam bidang ilmu murni (pure science) dan ilmu terapan (applied science ) yang berkembang pesat pula. Perkembangan ini jelas memberi pengaruh dan dampak yang sangat kuat pada garapan pada pendidikan. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan isi kurikulum pendidikan. Sedaangkan isi kurikulum itu sendiri merupakan kumpulan pengalaman manusia yang disusun secara sistematis dan sistemik sebagai hasil atau buah karya kebudayaan manusia. Oleh sebab itu, pemilihan sebaran dan isi kurikulum dalam suatu program pendidikan pada hakikatnya merupakan penetapan isi atau ilmu yang relevan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Di sini berarti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai salah satu karakteristik perkembangan sosial budaya, akan memberi corak dan warna bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pendidikan.[16]
Pendidikan serta ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai kaitan yang erat. Seperti diketahui IPTEK menjadi isi kajian di dalam pendidikan dengan kata lain pendidikan berperan sangat penting dalam pewarisan dan pengembangan iptek. Dari sisi lain setiap perkembangan iptek harus segera diimplementasikan oleh pendidikan yakni dengan segera memasukkan hasil pengembangan iptek ke dalam isi bahan ajar. Sebaliknya, pendidikan sangat dipengaruhi oleh cabang-cabang iptek (psikologi, sosiologi, antropologi, dsb). Seiring dengan kemajuan iptek, maka pada umumnya ilmu pengetahuan juga berkembang sangat pesat.[17]
 ( By : Fenisia Alfiana )



[1] Hamzan Junaid, op.cit, hh.90-91.
[2] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam ( Cet. I,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 4.
[3] Umar Tirtarahardja dkk(Cet 2),op.cit,h.92.
[4] Umar Tirtarahardja(Cet 1), op.cit. h.83.
[5] Ibid. hh. 88-91.
[6] Dinn Wahyudin ,dkk, pengantar pendidikan, (Cet.16, Jakarta: Universitas Tebuka, 2006),h.2.5.
[7] Rubino Rubiyanto, dkk, Landasan Pendidikan,( Cet. I, Surakarta;
Muhammadiyah University Press, 2003). H. 17. Dan lihat Reka Joni, T, Penelitian
Pengembangan dalam Pembaruan Pendidikan ( Cet. I, Jakarta: P2LPTK Ditjen Depdikbud,
1984) h.45.
[8] Umar Tirtarahardja,op. cit, h. 92.
[9] Rubino Rubiyanto, dkk, op.cit, h. 19.
[10] Umar Tirtarahardja, op. cit, h. 95-96.
[11] Ibid,h. 96.
[12] Ibid, h. 98
[13] Dinn Wahyudin ,dkk, op.cit, h.2.7.
[14] Umar Tirtarahardja,op. Cit,h. 104.
[15]Ibid,h. 105.
[16] Dinn Wahyudin ,dkk, op.cit, hh.2.9-2.10.
[17] Umar Tirtarahardja,op. cit, h. 113.

0 komentar:

Post a Comment

Search This Blog