oleh
I Gst. Putu Sudiarta
Jurusan Pendidikan Matematika
Fakultas Pendidikan MIPA, IKIP Negeri Singaraja
ABSTRAK
Perkembangan
pada era informasi dan persaingan
global sekarang ini menuntut adanya
kemampuan berpikir tingkat tingkat tinggi dalam memecahkan permasalah yang
kompleks dan sering tak terduga. Untuk itu kemampuan berpikir divergen dan kritik untuk memecahkan masalah secara
mendalam, multidisiplin dan multi perspektif serta multi prosedur adalah
kebutuhan yang mendesak. Namun demikian pengertian dan pemahaman terhadap
kompetensi berpikir divergen dan kritis masih beragam dan sering menimbulkan
kebingungan. Demikian juga, bagaimana implementasinya dalam pembelajaran di
kelas. Artikel ini membahas pengertian
dan definisi kompetensi berpikir divergen dan kritis. Definisi operasional
berpikir divergen dan kritis dalam konteks pembelajaran matematika dirumuskan, yang
disertai dengan contoh bagaimana kompetensi tingkat tinggi tersebut dirumuskan
dalam bentuk komponen-komponen kompetensi serta indikatornya. Juga contoh
masalah matematika open-ended yang
memungkinkan untuk mengembangkan kompetensi tersebut dipaparkan dengan singkat
tapi padat.
Kata kunci: model pembelajaran, pemecahan masalah,
open-ended problem, closed problem,
kompetensi, berpikir divergent, berpikir kritis
ABSTRACT
The
new information era and global competitiveness claim the importance of
mastering the high level of competencies to solve the more and more complex and
unpredictable problems. Consequently, the high level of thinking, namely the
competencies of divergent and critical
thinking are an immediate need. This type of competencies is considered as
competence to solve problem multidisciplinary and multiplerspectively. It
includes, for example, the ability to generate a number of ideas so that there
is an increase of possible solutions or related procedures and products. Nevertheless, the concept and the definition
of divergent and critical thinking vary
and tend to confusing. Also its implementation strategy in the classroom is
unclear. This article discusses this problem briefly and tries to
construct an operational definition of
divergent and critical thinking in the context of mathematical learning and
teaching. Some examples of how to extract the concept of divergent and critical
thinking into more concrete sub competence and its indicators are described.
Also a prototype of mathematical
open-ended problem solving is proposed
as a learning tool to develop that intended high level of competencies,
i.e. divergent and critical thinking.
Key words: instructional design, problem solving,
open-ended problem, closed problem,
competence, divergent thinking, critical thinking.
1.
Pendahuluan
Mengembangkan kompetensi berpikir divergen
dan kritis di kalangan peserta didik
merupakan hal yang penting dalam
era persaingan global ini, karena
tingkat kompleksitas permasalahan dalam segala aspek kehidupan modern
ini semakin tinggi. Kemampuan berpikir divergen penting untuk mencermati permasalahan dari
segala perspektif, dan mengkonstruksi segala kemungkinan pemecahannya yang reasonable dan viabel. Dalam hal ini, sebuah perspektif baru berkaitan dengan
prinsip kemampuan berpikir divergen perlu dijadikan pegangan dalam
pembelajaran, yaitu bukan belajar menemukan satu jawaban benar (a correct solution) yang menjadi tujuan
setiap pemecahan masalah, tetapi
bagaimana mengkonstruksi segala
kemungkinan jawaban yang reasonable, beserta
segala kemungkinan prosedur dan argumentasinya kenapa jawaban tersebut masuk
akal (how to construct and to defend
various reasonable solutions and its respective procedures) sehingga dapat
diaplikasikan dalam pemecahan masalah dunia nyata lainnya, yang biasanya jauh
lebih kompleks dan tak terduga. Pemikiran kritis sangat penting dalam
menganalisis, mensintesis dan mengevaluasi
segala argumen untuk mampu membuat keputusan yang rasional dan
bertanggungjawab. Siswa hendaknya diarahkan untuk mencapai kompetensi tingkat
tinggi (high level of competence)
melalui pengembangan kemampuan berpikir divergen dan kritis. Dengan kata lain,
setiap langkah dan proses pembelajaran hendaknya tidak berhenti pada pencapaian
basic skills (keterampilan dasar yang
biasanya didominasi oleh tugas-tugas rutin yang cukup dipecahkan dengan pola
berpikir konvergen melalui hafalan, ataupun latihan pengulangan contoh-contoh),
tetapi juga harus mengembangkan kemampuan tingkat tinggi yang meliputi kemampuan
berpikir divergen dan kritis. Namun pengertian tentang berpikir divergen dan
kritis masih sering membingungkan, demikian juga dengan masalah implementasinya
dalam pembelajaran. Berkaitan dengan masalah ini, beberapa permasalahan utama
yang akan dibahas dalam artikel ini adalah (1) bagaimana definsi operasional berpikir
divergen dan kritis, dan (2) bagaimana implementasinya dalam pembelajaran
matematika
Terkait dengan pertanyaan pertama, beberapa
literatur penting tentang berpikir divergen dan kritis akan dibahas untuk
merumuskan suatu definisi operasional, terutama yang relevan dengan pembentukan
kompetensi matematis tingkat tinggi, yang antara lain meliputi kreativitas berpikir yang melibatkan imajinasi,
intuisi, dan penemuan melalui pemikiran divergen,
kritis, dan orisinal. Sedangkan, terkait dengan permasalahan kedua akan
dibahas pendekatan pemecahan masalah open-ended, serta contohnya dalam
pembelajaran matematika terutama yang dapat mengembangkan kompetensi berpikir
divergen dan kritis.
2.
Pembahasan
Sudiarta (2004) merumuskan bahwa maskot
baru pembelajaran matematika paling tidak bercirikan 7 sebagai berikut: (1) menggunakan permasalahan kontekstual,
yaitu permasalahan yang nyata atau dekat
dengan lingkungan dan kehidupan siswa
atau minimal dapat dibayangkan oleh siswa,
(2) mengembangkan kemampuan memecahkan masalah (problem solving),
serta kemampuan berargumentasi dan berkomunikasi secara matematis (mathematical
reasoning and communication), (3) memberikan
kesempatan yang luas untuk penemuan kembali (reinvention) dan untuk
membangun (construction) konsep, definisi, prosedur dan rumus-rumus
matematika secara mandiri, (4) melatih cara berpikir dan bernalar dalam
menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, explorasi,
experimen, dll., (5) mengembangkan kreativitas
berpikir divergen dan kritis yang melibatkan imajinasi, dan intuisi, dan serta trial-and-error, (6) menggunakan model (modelling), dan (7) memperhatikan
dan mengakomodasikan
perbedaan-perbedaan karakteristik
individual siswa.
Terkait dengan butir ke- 4 dan ke-5 di atas, perlu
dicermati pengertian operasional dari berpikir divergen dan kritis, serta
bagaimana pembelajaran yang diharapkan
dapat membentuk kompetensi tersebut. Untuk itu berikut ini akan dibahas
pertama-tama pengertian dan definsi dari kompetensi berpikir divergen dan
kritis tersebut, dilanjutkan dengan pembahasan pendekatan open-ended dalam pembelajaran
matematika yang diharapkan dapat
membangun kompetensi tersebut.
2.1
Pengertian dan Definisi Berpikir Divergen dan Kritis
Banyak hasil penelitian (misalnya Sternberg & Lubart, 1991) menemukan bahwa
pengukuran kemampuan siswa berdasarkan tes standard konvensional tidak mampu
mengukur kemampuan peserta didik secara utuh dan menyeluruh. Hasil-hasil tes
tersebut, barangkali dapat mengungkap tentang kemampuan siswa dalam
“menghasilkan sebuah jawaban yang benar”, tetapi tidak tentang kemampuan berpikir
tingkat tinggi yang berkaitan dengan kreativitas siswa, terutama dengan kemampuan berpikir divergen, untuk
memecahkan masalah yang diberikan secara kreatif melalui pengkajian
multiperspektif. Lebih lanjut disimpulkan, bahwa sesungguhnya ada dua bentuk
kompetensi berpikir, yaitu (a) berpikir divergen dan (b) berpikir konvergen.
|
|
Skema berpikir divergen dan
konvergen (Parnes, S. J.,1992)
|
Seseorang disebut memiliki preferensi
berpikir konvergen jika memikiki kemampuan dalam mengumpulkan material,
informasi, skill untuk digunakan
dalam memecahkan masalah sedemikian rupa dapat dihasilkan jawaban yang benar.
Kemampuan berpikir ini sangat cocok pada pelajaran ilmu alam, matematika, dan
teknologi. Alasananya karena bidang ini membutuhkan konsistensi, dan
reliabelitas. Kemampuan ini sangat cocok diukur dengan tipe tes standar,
seperti tes-tes intelegensi, dan tes dalam ujian-ujian nasional. Sedangkan
berpikir divergen lebih tertuju pada pengembangan kemampuan dalam menghasilkan
elaborasi kreativitas dari ide-ide yang dihasilkan dari stimulus. Berpikir
divergen diklaim cenderung merupakan preferensi bagi bidang seni dan
kemanusian. Untuk mengukur kemampuan ini
cocok digunakan tes open-ended,
tes-tes yang mengunakan objek-objek.
Namun Isaksen,
Dorval & Treffinger (1994) mendefinisikan berpikir divergen sebagai kemampuan untuk mengkonstruksi
atau menghasilkan berbagai respon yang mungkin, ide-ide, opsi-opsi atau
alternatif-alternatif untuk suatu permasalahan atau tantangan. Berpikir
divergen paling tidak menekankan (a)
adanya proses interpretasi dan evaluasi terhadap berbagai ide-ide, (b) proses
motivasi untuk memikirkan berbagai kemungkinan ide yang masuk akal, dan (c) pencarian terhadap kemungkinan-kemungkinan
yang tak biasanya (non rutin) dalam mengkonstruksi ide-ide unik.
Definisi divergent thinking menurut Isaksen, Dorval & Treffinger ini
nampaknya lebih relevan dengan tema pengembangan kemampuan berpikir divergen
dan kritis dalam konteks pembelajaran matematika. Untuk itu, definisi
operasional berpikir divergen dalam artikel ini akan dibatasi sebagai suatu
kompetensi matematis yaitu kemampuan untuk menkonstruksi segala kemungkinan
jawaban, beserta prosedur dan alasannya terhadap masalah matematika yang akan
dipecahkan. Sejak bertahun-tahun kompetensi seperti ini kurang mendapat
perhatian dalam pembelajaran matematika. Hal ini disebabkan karena sampai akhir
dekade terakhir ini pembelajaran matematika masih didominasi oleh pandangan
bahwa pemecahan masalah matematika hanya berhubungan dengan pencarian jawaban
tunggal (unik) yang benar, sebab masalah matematika harus dirumuskan dengan informasi
matematis yang lengkap, sehingga jawabannya pun harus pasti dan tunggal, dengan
prosedur deduktif yang jelas. Namun sejak tahun 1970-an, Shimada
mengembangkan pendekatan open-ended dalam pembelajaran matematika yang
berorientasi pada pengembangan masalah matematika terbuka, yang disusun
sedemikian rupa sehingga masalah tersebut memiliki lebih dari satu jawaban yang
benar, dan dengan lebih dari satu prosedur
dan argumentasi pula. Inilah awal
berkembangnya perspektif baru pembelajaran matematika, dimana kompetensi
matematis tingkat tinggi termasuk kemampun berpikir divergen dan kritis
dijadikan fokus pembelajaran matematika.
Kompetensi
Berpikir Kritis
Definisi berpikir
kritis telah mengalami perubahan selama beberapa dekade terakhir ini. Beberapa
ahli-ahli kognitif, psikologi, dan ahli filsafat telah mencoba memberikan
beberapa definisi tentang cara berpikir kritis, di antaranya, (1) kemampuan
untuk menganalisa fakta, mengorganisasi ide-ide, mempertahankan pendapat,
membuat perbandingan, membuat suatu kesimpulan, mempertimbangkan argument, dan
memecahkan masalah (Parnes, 1992, hal. 11); (2) salah
satu logika yang mencerminkan kepercayaan seseorang dan keteguhan hati
seseorang (Vehar, Firestien, & Miller, 1989,
hal. 64); (3) cara berpikir kritis meliputi pemikiran
analitis dengan tujuan untuk mengevaluasi apa yang telah dibaca (Beaton, A.E.et
al.,1996, hal 175); (4) suatu proses sadar yang digunakan untuk
menginterpretasi atau mempertimbangkan informasi dan pengalaman yang menggiring
pada suatu perilaku (Confrey,1991,hal.24); (5) proses pemahaman dan pengevaluasian
argumentasi yang aktif dan sistematis. Sebuah argumen memberikan suatu
pernyataan yang tegas tentang suatu hal atau hubungan antara dua atau lebih hal
dan bukti-bukti untuk mendukung suatu pernyataan. Orang-orang yang memilliki
daya pikir kritis mengakui bahwa tidak hanya ada satu cara yang benar untuk
memahami dan mengevaluasi argument (Freire, P.,
D'Ambrosio, U., & Do Carmo Mendonco, M.,1997, hal. 4); (6) Proses
intelektual aktif yang disiplin dalam
mengkonseptualisasi, mengaplikasikan, menganalisis, menguraikan, dan atau
mengevaluasi informasi yang didapat dari observasi, pengalaman, refleksi,
logika, atau komunikasi (Fuson, K., & Briars, D.,1990,hal. 5); dan (7) Cara
berpikir logis yang memfokuskan pada apa yang harus dipercayai atau dilakukan (Hiebert,
J. & Carpenter, T. P.,1992 hal. 21).
Manfaat Berpikir Kritis
Beberapa ahli psikologi kognitif (misalnya Paul Chance and
Richard Mayer dalam Howson, G. et al., 1981) telah menggambarkan
prosedur-prosedur dalam berpikir kritis. Mereka menulis tentang perbedaan
antara cara berpikir kritis dan aspek-aspek berpikir yang lain, seperti misalnya
cara berpikir kreatif. Beberapa ahli
filsafat (seperti Richard Paul dalam Steffe,
L.P.,1991) mengingatkan bahwa cara
berikir kritis adalah suatu proses berpikir yang menuju ke suatu standar
tertentu. Hanya terlibat dalam proses berpikir kritis tidaklah cukup, cara
berikir kritis haruslah dilakukan dengan baik dan haruslah memberikan pengaruh
pada perilaku kita sehari-hari.
Para ahli psikologi behavioural telah menemukan beberapa
definisi-definisi operasional yang berkaitan dengan daya berpikir kritis.
Mereka telah meneliti tugas-tugas siswa
dan metodelogi maupun strategi yang
digunakan oleh guru untuk membentuk
perilaku-perilaku positif sesuai dengan hasil akhir yang diharapkan.
Beberapa spesialis content
(seperti Hickey and Mertes dalam Lerman, S.,1994) membuktikan bagaimana
cara berpikir kritis bisa diajarkan dalam beberapa skill dan mata pelajaran yang berbeda, seperti dalam membaca, dalam
pelajaran sastra, ilmu-ilmu sosial, matematika, dan ilmu alam. Ini adalah salah satu kontribusi yang sangat
penting karena daya berpikir kritis dapat berkembang dengan baik apabila hal
tersebut diajarkan pada saat siswa belajar content atau mata pelajaran
tertentu, dibandingkan dengan siswa harus mempelajarinya secara terpisah.
Apakah kemampuan berpikir divergen dan kritis terkait dengan Taksonomi Bloom ?
Bloom dan beberapa rekannya (1956) menulis salah satu
buku yang sangat penting: Taksonomi Kognitif.
Mereka menyatakan bahwa proses “knowing” atau “mengetahui” sebenarnya terdiri dari 6 tingkatan hierarkis,
yaitu: pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Penelitian-penelitian selama 40 tahun terakhir ini, membuktikan bahwa 4 level
pertama memang benar adalah hierarkis. Yaitu “mengetahui” sesuatu pada
tingakatan pengetahuan adalah lebih mudah dari tinngkatan pemahaman, dan seterusnya sampai pada
tingkatan analisis. Namun hubungan
antara tingkatan sintesis dan evaluasi tidaklah selalu hierarkis. Bahkan, ada
kemungkinan bahwa kedua level ini bisa ditukar posisinya dalam hierarki
tersebut dan ada kemungkinan juga bahwa keduanya merupakan dua
aspek yag sama sekali berbeda.
Sintesis dan evaluasi adalah dua tipe berpikir yang
memiliki beberapa kesamaan, namun berbeda dalam hal tujuan. Evaluasi (yang bisa
dianggap sebagai pemikiran kritis) berfokus pada membuat suatu penilaian
berdasarkan suatu pernyataan atau masalah. Sintesis (yang kurang lebih sama
dengan pemikiran kreatif) memerlukan pengamatan pada bagian-bagian yang akan
disintesis dan menemukan hubungannya, kemudian menempatkan mereka dalam suatu perspektif yang
baru.
Steedman, P.H., (1991) menyatakan bahwa proses
sintesis/pemikiran kreatif dan evaluasi/pemikiran kritis ini memiliki hubungan
yang setara namun berbeda. Dia mengklasifikasikan teknik-teknik yang dapat
digunakan dalam pemecahan masalah dan penentuan suatu keputusan dalam dua
dikotomi. Pertama, satu set teknik yang cenderung linear, berangkai, lebih terstruktur, lebih rasional, dan
analitis, serta lebih berorientasi pada
tujuan; teknik-teknik ini sering digunakan untuk mengajarkan latihan-latihan
berpikir kritis. Perangkat set teknik yang kedua cenderung lebih holistik dan
paralel, lebih intuitif dan emosional, lebih kreatif, lebih visual, dan lebih kinestetik; teknik-teknik ini sering digunakan
untuk mengajarkan kemampuan berpikir kreatif. Perbedaan ini juga berkaitan
dengan kemampuan berpikir dengan menggunakan otak kiri (analitis, serial,
logis, objektif), dan otak kanan (global, paralel, emosional, dan subyektif).
Salah satu masalah yang muncul dengan adanya definisi di
atas, adalah bahwa cara berpikir yang “baik” dianggap sama dengan cara berpikir
kritis. Ini berarti bahwa cara berpikir kreatif adalah komponen dari cara
berpikir kritis. Perlu dikaji secara konseptual dan empiris perluasan definisi
tersebut. Hal ini karena anggapan bahwa
cara berpikir yang “baik” sama dengan cara berpikir kritis juga dapat membawa
dampak negatif, yaitu kemungkinan adanya kesalahan konsep yang bisa menyesatkan
bagi para pendidik. Harus dipahami bahwa
cara berpikir yang “baik” itu mencakup
banyak aspek. Prilaku kritis dan kreatif
hanyalah salah satunya. Berbagai cara berpikir yang digolongkan kedalam cara
berpikir “tidak kritis” seperti cara berpikir
habitual (berpikir berdasarkan hal-hal yang sering dilakukan sebelumnya tanpa
mempertimbangkan data-data atau perubahan yang ada); brainstorming (mengatakan apapun yang ada di dalam pikiran tanpa
mengevaluasinya terlebih dahulu, cara berpikir prejudis (mengumpulkan
bukti-bukti atau pernyataan untuk mendukung suatu konsep atau dugaan tanpa
mempertanyakan kebenaran data yang didapat); atau cara berpikir emosional
(merespon suatu pesan secara emosional tanpa terlalu memperhatikan
substansinya). Setiap cara berpikir ini mempunyai keuntungan dan kerugiannya
masing-masing yang tergantung pada konteks penerapannya, namun ada
situsi-situasi tertentu dimana cara berpikir yang satu akan lebih tepat
diterapkan daripada cara berpikir yang lainnya.
Permasalahan yang
lainya adalah masih adanya kebingungan terhadap bagaimana implementasi konsep berpikir
kritis dalam praktiknya (misalnya bagaimana
dalam praktik di kelas membedakan antara emosi dan kognisi; feeling dan logika). Berkaitan dengan
masalah ini, Tama (dalam Parnes, S. J.,1992) menggunakan
istilah "keteguhan hati untuk tidak berubah kecuali jika ada bukti-bukti
yang jelas’, sedangkan Mertes (dalam Parnes, S.
J.,1992) menggunakan “perilaku
reflektif” dalam definisinya. Ini membuat kesulitan dalam membedakan kemampuan berpikir kognitif dengan
perilaku-perilaku atau kecenderungan-kecenderungan untuk menggunakan skill-skill tersebut.
Dari pembahasan di depan kiranya perlu ditegaskan bahwa
matematika secara natural merupakan kegiatan mental, sehingga konsep berpikir kritis hendaknya dipandang sebagai kegiatan mental yang menuntut kedisiplinan,
dan konsistensi dalam mengevaluasi setiap
argumentasi, maupun proposisi yang berkaitan
dengan masalah matematika yang akan dipecahkan
Contoh Pengembangan
Kompetensi Berpikir Divergen dan Kritis dalam Pembelajaran Matematika
Setelah dibahas secara memadai pengertian serta definisi berpikir
divergen dan kritis di depan, kini saatnya untuk secara lebih konkret
mengembangkannya dalam pembelajaran matematika. Dalam hal ini, kembali harus
ditegaskan bahwa untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam berpikir
divergen dan kritis, maka perspektif baru perlu dikembangkan secara menyeluruh, dari tahapan perencanaan kurikulum, design
model pembelajarannya, pengembangan perangkatnya sampai asesmen dan evaluasi
belajarnya. Namun dalam aritikel ini, hanya dipaparkan contoh pengembangan kemampuan
berpikir divergen dan kritis beserta indikatornya, dilengkapi dengan contoh
masalah matematika open-ended. Melalui proses pemecahan masalah matematika
open-ended ini diharapkan peserta didik dapat mengembangkan kemampuan berpikir
divergen dan kritisnya.
No
|
Kompetensi
Berpikir Kritis
|
Indikator
|
1
|
Investigasi konteks dan spektrum masalah
|
Menghasilkan
berbagai pengandaian, permisalan, katagori, dan persepsi untuk
memperluas/mempersempit spektrum ide masalah.
|
2
|
Merumuskan
masalah mate-matika
|
Merumuskan
pertanyaan-pertanyaan yang memberi arah pemecahan untuk mengkonstruksi
berbagai kemungkinan jawabannya.
|
3
|
Mengembangkan konsep jawaban dan argumentasi yang reasonable
|
Menyusun berbagai konsep jawaban, merumuskan
argumen-argumen yang masuk akal, menunjukkan perbedaan dan persamaannya
|
4
|
Melakukan deduksi
dan induksi
|
Mendeduksi secara
logis, memberikan asumsi logis membuat proposisi, hipotesis, melakukan
investigasi /pengumpulan data. membuat generalisasi dari data, membuat tabel,
dan grafik, melakukan interpretasi terhadap pernyataan
|
5
|
Melakukan
evaluasi
|
Melakukan
refleksi dan interpretasi kembali terhadap hasil dan proses pemecahan masalah
yang telah dilakukan, untuk melihat
sekali lagi lebih dalam, dan menemukan kemungkin ide dan perspektif penyelesaian
alternativ.
|
Sebagai contoh, dalam hal ini digunakan pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah. Untuk itu pertama-tama harus
disiapkan masalah matematika yang akan dibahas. Dalam hal ini, masalah
matematika terbuka (open-ended) yang
memiliki lebih dari satu jawaban yang benar dan berbagai prosedur pemecahannya. Hal ini dapat dimulai
pertama-tama dengan mencermati masalah-masalah/ soal-soal matematika
konvensional yang ada di buku-buku pelajaran sekolah yang biasanya berbentuk closed-ended, yaitu yang memiliki sebuah
jawaban yang benar dengan sebuah prosedur pemecahan yang pasti pula.
Selanjutnya, masalah tersebut dikonversikan menjadi masalah matematika open-ended yang memiliki lebih dari satu
jawaban yang benar, serta lebih dari satu prosedur pemecahan. Hal ini biasanya
dilakukan dengan menggunakan prinsip inversi maupun reduksi. Berikut ini paparkan kedua jenis masalah
matematika tersebut (Sudiarta, P.,
2003c).
Masalah 1 (closed-ended atau well structured
problem) :
Seekor Kerbau
beratnya 10 kali berat badannya Si Putu. Jika berat badan Si Putu 20 kg,
berapakan berat badan Kerbau itu ?
Pada masalah 1 ini, masalah matematika disajikan secara explisit,
prescribe dan predetermined, sehingga jawabnya pun gampang
ditebak oleh siswa (immediate solution), sebab:
Ø konteks konsep matematikanya sudah diberikan secara
explisit, yaitu perkalian (perhatikan:
Seekor Kerbau beratnya 10 kali berat badannya Si Putu)
Ø
Hubungan antara berat kerbau dan berat Si Putu juga
diberikan secara explisit yaitu 10 x
Ø
Berat Si Putu juga diberikan secara explisit, yaitu 20 kg
Ø
Ditanya: Berat Kerbau
Dari
analisis tersebut, nampak bahwa yang diperlukan cukup keterampilan dalam mengalikan
bilangan. Tidak ada prosedur lain, dan tidak ada jawaban lain.
Jawaban siswa yang diharapkan
adalah sebagai berikut:
(1) Berat Kerbau = 10 x berat badan Putu (diketahui secara explisit)
(2) Berat badan Si Putu =
20 kg (diketahui secara
explisit)
(3) Prosedur: menggunakan konsep perkalian (diketahui secara explisit, dan tidak ada
cara lain)
(4)
Penyelesaian: Berat Kerbau = 10 x 20 kg =200 kg (substitusikan (2) pada (1) : jawaban
tunggal, prosedur tunggal).
Inilah yang
disebut soal terutup atau well structured problem yang sering dijumpai dalam buku-buku
pelajaran sekolah, yang hanya memerlukan peng-gunaan keterampilan dasar
matematika (mathematical basic skill)
untuk memecahkannya, sebaliknya kurang memerlukan kemampuan berpikir
divergen dan kritis. Seperti terlihat dalam contoh 1, untuk dapat memecahkannya
siswa cukup menggunakan keterampilan dasar perkalian bilangan, selanjutnya
semuanya sudah dinyatakan secara jelas dalam rumusan soal.
Bagaimana jika soal tersebut
diubah menjadi sebagai berikut :
Masalah 2 (open-ended problem)
Seekor Kerbau
beratnya 200 Kg, berapa orang anak yang kamu perlukan agar jumlah semua berat
badan mereka sama dengan beratnya kerbau itu?
Pada contoh 2 ini masalah matematika dirumuskan
sedemikian rupa sehingga menuntut siswa untuk melakukan investigasi konteks,
sebab tidak semua data diberikan. Misalnya: karena berat masing-masing anak
tidak diberikan, maka dalam hal ini diperlukan kemampuan berpikir divergn dan
kritis untuk membuat keputusan matematis yang reasonable. Artinya, anak
harus mengambil keputusan, misalnya dengan mengandai-andaikan. Anak harus membuat investigasi dalam menentukan pengandaian yang masuk akal, dan
dapat dipertahankan baik nilai logis-matematisnya ataupun nilai
realitas-kontekstualnya. Misalnya, jika
diandaikan bahwa berat badan anak-anak itu semuanya sama dan masing-masing 20
kg. Berarti soal bisa dipecahkan, dengan konsep dan prosedur pembagian yaitu:
200 : 20 = 10, jadi diperlukan 10 orang anak dengan berat badan masing-masing
20 kg. Ini belum selesai, karena
pengandaian ini baru masuk akal secara algoritma matematis (mathematically
make sense and reasonable), tetapi nilai realitasnya perlu diuji, dengan
bertanya, apakah realistis mengandaikan semua anak-anak beratnya masing- masing
sama ? Anak bisa membuat pengandaian
yang lebih dekat dengan kenyataan misalnya; Beberapa orang anak beratnya 20 kg,
dan beberapa orang anak lainnya beratnya
15 kg. Sehingga konsep dan prosedur penyelesaiannya akan menjadi kalimat
matematika terbuka: atau dalam bahasa matematika formal 20 x + 15 y = 200, dengan x dan y bilangan
bulat positif, solusinya pun lebih dari
satu, misalnya x = 1 dan y = 12 ( jadi ada seorang anak dengan berat badan 20 kg dan 12
anak dengan berat badan 15 kg), solusi yang lain misalnya x = 4 dan y = 8,
dst. Di sini jelas terlihat, bahwa bukan
solusinya yang menjadi tujuan, atau yang menjadi kriteria penilaian, tapi
bagaimana anak mengambil keputusan dalam investigasi konteks matematika, bagaimana anak membuat argumentasi-argumentasi
matematis dan kontekstual, bagaimana anak mengkomunikasikan dan mempertahankan prosedur yang mereka lakukan. Secara umum
untuk soal "open ended" pada contoh 2 tadi dapat diberikan catatan
sbb.:
Ø Tidak ada konsep, operasi atau prosedur
matematika yang diberikan secara explisit, siswa harus mengambil
keputusan sendiri tentang konsep dan prosedur yang ingin dilakukan, mencermati
dan menebak sendiri solusi yang akan didapatkan. Konsep matematika yang mungkin digunakan pada contoh ini misalnya: Pembagian,
Perkalian, Penjumlahan Berulang, atau pun Persaman Terbuka dengan 2 variabel
berupa bilangan bulat positif, tergantung dari kecenderungan intelektual
individual siswa, berdasarkan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman mereka.
Ø Ada data yang harus dilengkapi sendiri oleh siswa,
dalam hal ini data tentang berat badan anak. Ini memerlukan kemampuan siswa
untuk berpikir kreatif dan produktif dalam mengambil keputusan yang beralasan (reasonable
decision) atau membuat estimasi yang
kuat (reasonable estimation), berupa pengandaian yang masuk akal
terhadap berat badan anak tadi.
Dari uraian dan analisa
contoh masalah open ended pada
contaoh 2 tadi, dapat dilihat betapa pentingnya penerapan pendekatan
pembelajaran berorientasi masalah open ended untuk meningkatkan
pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika, yang pada akhirnya akan
dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa itu sendiri. Alasannya adalah
penerapan pembelajaran berdasar masalah open ended seperti yang
ditunjukkan secara jelas dalam contoh 2
tadi, membuka ruang
selebar-lebarnya, untuk melatih dan mengembangkan semua komponen-komponen
kompetensi ranah pemahaman yang meliputi:
(a) memengerti konsep, prinsip dan ide-ide matematika yang berhubungan dengan tugas
matematika (conceptual understanding), (b) memilih dan menyelenggarakan
proses dan stretegi pemecahan masalah (processes and strategies), (c)
menjelaskan dan mengkomunikasikan mengapa strategi itu berfungsi (reasoning
and communication), dan (d) mengidentifikasi dan melihat kembali
alasan-alasan mengapa solusi dan prosedur menuju solusi itu adalah benar (interpret
reasonableness) (bandingkan Schoenfeld, 1994;1997; Sudiarta, 2001,2003b).
3.
Penutup
Dari pembahasan di dapat disimpulkan bahwa pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang antara lain meliputi kemampuan berpikir divergen dan kritis sangat lah penting bagi peserta didik, untuk meningkatkan kemampuan daya saing mereka dalam era global pada abad ke-21 ini. Walaupun pengertian dan definisi tentang konsep kompetensi berpikir divergen dan kritis beragam, namun hal itu harus dipandang secara objektif dan realistik sebagai spektrum untuk memperkaya khasanah. Sedangkan, pada tataran implentasi di depan kelas, harus disesuaikan dengan kharakteristik mata pelajaran masing-masing. Untuk pembelajaran matematika hal ini sudah mulai mendapat perhatian dan bahkan menjadi perspektif baru. Pendekatan pemecahan masalah matematika open-ended adalah salah satu model pembelajaran yang menekankan pengembangan kompetensi berpikir divergen dan kritis tersebut. Namun demikian ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan dan dan implementasi kompetensi berpikir divergen dan kritis, yaitu (1) Hendaknya berhati-hati dalam mendefinisikan konsep kemampuan berpikir divergen dan kritis, perlu membedakannya dengan konsep-konsep yang mirip seperti cara berpikir kreatif atau pun cara berpikir yang “baik, dan (2) Hendaknya diidentifikasi perilaku-perilaku yang diharapkan dan sub-task yang berhubungan dengan kemampuan berpikir divergen dan kritis untukmengembangkan definisi-definisi yang operasional dan disesuaikan dengan kharakteristik bidang studi.
Di samping itu, kemampuan berpikir divergen dan kritis adalah suatu hal yang kompleks dan kita tidak cukup hanya mengharapkan bahwa satu metode pengajaran akan cukup untuk mengembangkan komponen-komponen kemampuan berpikir kritis ini. Walaupun memungkinkan untuk mengembangkan kemampuan berpikir divergen dan kritis dan komponen-komponennya dalam pembelajaran, sebagai suatu skill yang terpisah, kemampuan berpikir kritis ini akan sangat optimal bila diintegrasikandengan aspek-aspek keilmuan yang lain, misalnya matematika dipadukan dengan IPA dalam bentuk pembelajaran terpadu.
DAFTAR PUSTAKA
Beaton, A.E.et al., (1996). Mathematics Achievement in The Middle School Years: IEA's Third
International Mathematics And Science Study (TIMSS), Boston:
Center for Study of Testing, Evaluation, and Educational Policy, Boston College.
Confrey, J., (1991). Learning
to Listen : A Student's Understanding of
Power of Ten, in Von Glasersfeld, E., Radical Constructivism in Mathematics
Education, p.111-138, Netherlands
: Kluwer Academic Publisher.
Ernest, P., (1994a). Constructing
Mathematical Knowledge: Epistemology and Mathematics Education, London : The Falmer
Press.
Ernest, P., (1994b). Social
Constructivism and the Psychology of Mathematics Education, in Paul Ernest,
Studies in Mathematics Education Series 4, p. 62-72, London : The Falmer Press.
Freire, P., D'Ambrosio, U., & Do
Carmo Mendonco, M., (1997). A
conversation with Paulo Freire. For
the Learning of Mathematics, 17(3), 7-10.
Fuson, K., & Briars, D., (1990).
Using a base-ten blocks learning/teaching
approach for first- and second- grade place value and multidigit addition and
subtraction. Journal for Research
in Mathematics Education, 21(3), 180-206.
Hiebert, J. & Carpenter, T. P., (1992) Learning and teaching with understanding,
In Grouws, D. A. (Ed). Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. NCTM
Hiebert,
J., Wearne, D., (1993). Instructional tasks, classroom discourse, and
students’ learning in second-grade arithmetic. American Educational Research Journal, 30(2),
393-425.
Isaksen,
S. G. , Dorval,
K. B. , & Treffinger, D. J. (1994). Creative
approaches to problem solving. Dubuque,
Iowa: Kendall Hunt Publishing
Company
Howson, G. et al., (1981). Curriculum Development in Mathematics, p. 84-101, London:
Cambridge University Press.
Lerman, S., (1994 ). Articulating
Theories of Mathematics Learning, in Paul Ernest, Studies in Mathematics
Education Series 4, p. 41-49, London
: The Falmer Press.
Parnes, S. J. (1992). Source book
for creative problem solving. Buffalo,
NY: Creative Education Foundation
Press.
Steedman, P.H., (1991). There is No More Safety in Number: A New Conception of Mathematics
Teaching, in Von Glasersfeld, E., Radical Constructivism in Mathematics
Education, p.1-11, Netherlands : Kluwer Academic Publisher.
Steffe, L.P., (1991). The Constructivist Teaching Experiment, in Von Glasersfeld, E.,
Radical Constructivism in Mathematics Education, p.177-194, Netherlands :
Kluwer Academic Publisher.
Sternberg, R. J. & Lubart, T. I.
(1991). An investment theory of creativity and its development. Human
Development, 34, 1-31.
Sudiarta, P., (2002a). Constructivism
and Its Epistemological Consequences to
Teaching Mathematics. Berlin: ISSM 2002
Sudiarta, P., (2002b). Radical
Constructivism and Its Implication for The Concept of Teaching and Learning. Hamburg:
SKET/ ASI 2002
Sudiarta, P., (2002c). Knowledge
Formation and Knowledge Construction: A Constructivist Perspective. Hamburg: SKET/ ASI 2002
Sudiarta,
P., (2003a). Impulse der Schule des Konstruktivismus Fuer
Neuere Konzepte des Lehrers und Lernens, Aachen: Shaker Verlag Muenchen
Sudiarta,
P., (2003b). Impulse der Schule des Konstruktivismus Fuer
Neuere Konzepte des Lehrens und Lernens: Am Beispiel Mathematikunterricht.
Dissertation: Universitaet Osnabrueck, Jerman
Sudiarta,
P., (2003c). Pembangunan Konsep Matematika Melalui "Open-Ended Problem": Studi Kasus
Pada Sekolah Dasar Elisabeth Osnabrueck
Jerman, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, IKIP Negeri Singaraja: Edisi Oktober 2003
Sudiarta,
P., (2004). Mencermati Kurikulum Berbasis Kompetensi:
Sebuah Kajian Epistemologis dan Praktis, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran
IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus Dies Natalis IKIP Negeri Singaraja Feb.2004.
Vehar, J., Firestien, R., & Miller, B, (1997).
Creativity unbound. Williamsville,
NY: Innovation Systems Group.
0 komentar:
Post a Comment