Pages

Sunday, July 1, 2012

PENGEMBANGAN KOMPETENSI BERPIKIR DIVERGEN DAN KRITIS MELALUI PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA OPEN-ENDED




oleh
I Gst. Putu Sudiarta
Jurusan Pendidikan Matematika
Fakultas Pendidikan MIPA,  IKIP Negeri Singaraja


ABSTRAK

Perkembangan pada era informasi dan  persaingan global  sekarang ini menuntut adanya kemampuan berpikir tingkat tingkat tinggi dalam memecahkan permasalah yang kompleks dan sering tak terduga. Untuk itu kemampuan berpikir divergen  dan kritik untuk memecahkan masalah secara mendalam, multidisiplin dan multi perspektif serta multi prosedur adalah kebutuhan yang mendesak. Namun demikian pengertian dan pemahaman terhadap kompetensi berpikir divergen dan kritis masih beragam dan sering menimbulkan kebingungan. Demikian juga, bagaimana implementasinya dalam pembelajaran di kelas.  Artikel ini membahas pengertian dan definisi kompetensi berpikir divergen dan kritis. Definisi operasional berpikir divergen dan kritis dalam konteks pembelajaran matematika dirumuskan, yang disertai dengan contoh bagaimana kompetensi tingkat tinggi tersebut dirumuskan dalam bentuk komponen-komponen kompetensi serta indikatornya. Juga contoh masalah matematika open-ended yang memungkinkan untuk mengembangkan kompetensi tersebut dipaparkan dengan singkat tapi padat.  

Kata kunci: model pembelajaran, pemecahan masalah, open-ended problem,  closed problem, kompetensi, berpikir divergent, berpikir kritis

ABSTRACT

The new information era and global competitiveness claim the importance of mastering the high level of competencies to solve the more and more complex and unpredictable problems. Consequently, the high level of thinking, namely the competencies  of divergent and critical thinking are an immediate need. This type of competencies is considered as competence to solve problem multidisciplinary and multiplerspectively. It includes, for example, the ability to generate a number of ideas so that there is an increase of possible solutions or related procedures and products.   Nevertheless, the concept and the definition of  divergent and critical thinking vary and tend to confusing. Also its implementation strategy in the classroom is unclear. This article discusses this problem briefly and tries to construct  an operational definition of divergent and critical thinking in the context of mathematical learning and teaching. Some examples of how to extract the concept of divergent and critical thinking into more concrete sub competence and its indicators are described. Also a prototype of  mathematical open-ended problem solving  is proposed as a  learning tool to develop  that intended high level of competencies, i.e. divergent and critical thinking.

Key words: instructional design, problem solving, open-ended problem,  closed problem, competence, divergent thinking, critical thinking.

  

1.      Pendahuluan
Mengembangkan kompetensi berpikir divergen dan kritis di kalangan peserta didik  merupakan hal yang  penting dalam era persaingan global ini, karena  tingkat kompleksitas permasalahan dalam segala aspek kehidupan modern ini semakin tinggi. Kemampuan berpikir divergen  penting untuk mencermati permasalahan dari segala perspektif, dan mengkonstruksi segala kemungkinan pemecahannya yang reasonable dan viabel. Dalam hal ini, sebuah perspektif baru berkaitan dengan prinsip kemampuan berpikir divergen perlu dijadikan pegangan dalam pembelajaran, yaitu bukan belajar menemukan satu jawaban benar (a correct solution) yang menjadi tujuan setiap  pemecahan masalah, tetapi bagaimana  mengkonstruksi segala kemungkinan jawaban yang reasonable, beserta segala kemungkinan prosedur dan argumentasinya kenapa jawaban tersebut masuk akal (how to construct and to defend various reasonable solutions and its respective procedures) sehingga dapat diaplikasikan dalam pemecahan masalah dunia nyata lainnya, yang biasanya jauh lebih kompleks dan tak terduga. Pemikiran kritis sangat penting dalam menganalisis, mensintesis dan mengevaluasi  segala argumen untuk mampu membuat keputusan yang rasional dan bertanggungjawab. Siswa hendaknya diarahkan untuk mencapai kompetensi tingkat tinggi (high level of competence) melalui pengembangan kemampuan berpikir divergen dan kritis. Dengan kata lain, setiap langkah dan proses pembelajaran hendaknya tidak berhenti pada pencapaian basic skills (keterampilan dasar yang biasanya didominasi oleh tugas-tugas rutin yang cukup dipecahkan dengan pola berpikir konvergen melalui hafalan, ataupun latihan pengulangan contoh-contoh), tetapi juga harus mengembangkan kemampuan tingkat tinggi yang meliputi kemampuan berpikir divergen dan kritis. Namun pengertian tentang berpikir divergen dan kritis masih sering membingungkan, demikian juga dengan masalah implementasinya dalam pembelajaran. Berkaitan dengan masalah ini, beberapa permasalahan utama yang akan dibahas dalam artikel ini adalah (1) bagaimana definsi operasional berpikir divergen dan kritis, dan (2) bagaimana implementasinya dalam pembelajaran matematika
Terkait dengan pertanyaan pertama, beberapa literatur penting tentang berpikir divergen dan kritis akan dibahas untuk merumuskan suatu definisi operasional, terutama yang relevan dengan pembentukan kompetensi matematis tingkat tinggi, yang antara lain meliputi  kreativitas berpikir yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan melalui pemikiran divergen, kritis, dan orisinal. Sedangkan, terkait dengan permasalahan kedua akan dibahas pendekatan pemecahan masalah open-ended, serta contohnya dalam pembelajaran matematika terutama yang dapat mengembangkan kompetensi berpikir divergen dan kritis.  

2.      Pembahasan
Sudiarta (2004) merumuskan bahwa maskot baru pembelajaran matematika paling tidak bercirikan 7 sebagai berikut:  (1) menggunakan permasalahan kontekstual, yaitu  permasalahan yang nyata atau dekat dengan lingkungan  dan kehidupan siswa atau minimal dapat dibayangkan oleh siswa,  (2) mengembangkan kemampuan memecahkan masalah (problem solving), serta kemampuan berargumentasi dan berkomunikasi secara matematis (mathematical reasoning and communication),  (3)  memberikan kesempatan yang luas untuk penemuan kembali (reinvention) dan untuk membangun (construction) konsep, definisi, prosedur dan rumus-rumus matematika secara mandiri,  (4)  melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, explorasi, experimen, dll.,  (5) mengembangkan kreativitas berpikir divergen dan kritis yang melibatkan imajinasi, dan intuisi, dan serta  trial-and-error,  (6)   menggunakan model (modelling), dan  (7)  memperhatikan dan mengakomodasikan  perbedaan-perbedaan  karakteristik individual siswa.
Terkait dengan butir ke- 4 dan ke-5 di atas, perlu dicermati pengertian operasional dari berpikir divergen dan kritis, serta bagaimana  pembelajaran yang diharapkan dapat membentuk kompetensi tersebut. Untuk itu berikut ini akan dibahas pertama-tama pengertian dan definsi dari kompetensi berpikir divergen dan kritis tersebut, dilanjutkan dengan pembahasan  pendekatan open-ended dalam pembelajaran matematika  yang diharapkan dapat membangun kompetensi tersebut.

2.1 Pengertian dan Definisi Berpikir Divergen dan Kritis  
Banyak hasil penelitian (misalnya Sternberg & Lubart, 1991) menemukan bahwa pengukuran kemampuan siswa berdasarkan tes standard konvensional tidak mampu mengukur kemampuan peserta didik secara utuh dan menyeluruh. Hasil-hasil tes tersebut, barangkali dapat mengungkap tentang kemampuan siswa dalam “menghasilkan sebuah jawaban yang benar”, tetapi tidak tentang kemampuan berpikir tingkat tinggi yang berkaitan dengan kreativitas siswa, terutama  dengan kemampuan berpikir divergen, untuk memecahkan masalah yang diberikan secara kreatif melalui pengkajian multiperspektif. Lebih lanjut disimpulkan, bahwa sesungguhnya ada dua bentuk kompetensi berpikir, yaitu (a) berpikir divergen dan (b) berpikir konvergen.
DIVERGE.GIF (7376 bytes)
convergent thinking
Skema berpikir divergen dan konvergen (Parnes, S. J.,1992)

Seseorang disebut memiliki preferensi berpikir konvergen jika memikiki kemampuan dalam mengumpulkan material, informasi, skill untuk digunakan dalam memecahkan masalah sedemikian rupa dapat dihasilkan jawaban yang benar. Kemampuan berpikir ini sangat cocok pada pelajaran ilmu alam, matematika, dan teknologi. Alasananya karena bidang ini membutuhkan konsistensi, dan reliabelitas. Kemampuan ini sangat cocok diukur dengan tipe tes standar, seperti tes-tes intelegensi, dan tes dalam ujian-ujian nasional. Sedangkan berpikir divergen lebih tertuju pada pengembangan kemampuan dalam menghasilkan elaborasi kreativitas dari ide-ide yang dihasilkan dari stimulus. Berpikir divergen diklaim cenderung merupakan preferensi bagi bidang seni dan kemanusian.  Untuk mengukur kemampuan ini cocok digunakan tes open-ended, tes-tes yang mengunakan objek-objek. 
Namun Isaksen, Dorval & Treffinger (1994) mendefinisikan berpikir  divergen sebagai kemampuan untuk mengkonstruksi atau menghasilkan berbagai respon yang mungkin, ide-ide, opsi-opsi atau alternatif-alternatif untuk suatu permasalahan atau tantangan. Berpikir divergen  paling tidak menekankan (a) adanya proses interpretasi dan evaluasi terhadap berbagai ide-ide, (b) proses motivasi untuk memikirkan berbagai kemungkinan ide yang masuk akal, dan (c)  pencarian terhadap kemungkinan-kemungkinan yang tak biasanya (non rutin) dalam mengkonstruksi  ide-ide unik.
Definisi divergent thinking  menurut Isaksen, Dorval & Treffinger ini nampaknya lebih relevan dengan tema pengembangan kemampuan berpikir divergen dan kritis dalam konteks pembelajaran matematika. Untuk itu, definisi operasional berpikir divergen dalam artikel ini akan dibatasi sebagai suatu kompetensi matematis yaitu kemampuan untuk menkonstruksi segala kemungkinan jawaban, beserta prosedur dan alasannya terhadap masalah matematika yang akan dipecahkan. Sejak bertahun-tahun kompetensi seperti ini kurang mendapat perhatian dalam pembelajaran matematika. Hal ini disebabkan karena sampai akhir dekade terakhir ini pembelajaran matematika masih didominasi oleh pandangan bahwa pemecahan masalah matematika hanya berhubungan dengan pencarian jawaban tunggal (unik) yang benar, sebab masalah matematika harus dirumuskan dengan informasi matematis yang lengkap, sehingga jawabannya pun harus pasti dan tunggal, dengan prosedur  deduktif yang jelas.  Namun sejak tahun 1970-an, Shimada mengembangkan pendekatan open-ended dalam pembelajaran matematika yang berorientasi pada pengembangan masalah matematika terbuka, yang disusun sedemikian rupa sehingga masalah tersebut memiliki lebih dari satu jawaban yang benar, dan dengan lebih dari satu  prosedur dan argumentasi pula.  Inilah awal berkembangnya perspektif baru pembelajaran matematika, dimana kompetensi matematis tingkat tinggi termasuk kemampun berpikir divergen dan kritis dijadikan fokus pembelajaran matematika.


Kompetensi Berpikir Kritis
Definisi  berpikir kritis telah mengalami perubahan selama beberapa dekade terakhir ini. Beberapa ahli-ahli kognitif, psikologi, dan ahli filsafat telah mencoba memberikan beberapa definisi tentang cara berpikir kritis, di antaranya,  (1)  kemampuan untuk menganalisa fakta, mengorganisasi ide-ide, mempertahankan pendapat, membuat perbandingan, membuat suatu kesimpulan, mempertimbangkan argument, dan memecahkan masalah (Parnes, 1992, hal. 11);  (2)  salah satu logika yang mencerminkan kepercayaan seseorang dan keteguhan hati seseorang (Vehar, Firestien, & Miller, 1989, hal. 64);  (3)  cara berpikir kritis meliputi pemikiran analitis dengan tujuan untuk mengevaluasi apa yang telah dibaca (Beaton, A.E.et al.,1996, hal 175);  (4)  suatu proses sadar yang digunakan untuk menginterpretasi atau mempertimbangkan informasi dan pengalaman yang menggiring pada suatu perilaku (Confrey,1991,hal.24);  (5) proses pemahaman dan pengevaluasian argumentasi yang aktif dan sistematis. Sebuah argumen memberikan suatu pernyataan yang tegas tentang suatu hal atau hubungan antara dua atau lebih hal dan bukti-bukti untuk mendukung suatu pernyataan. Orang-orang yang memilliki daya pikir kritis mengakui bahwa tidak hanya ada satu cara yang benar untuk memahami dan mengevaluasi argument (Freire, P., D'Ambrosio, U., & Do Carmo Mendonco, M.,1997, hal. 4);  (6)  Proses intelektual aktif  yang disiplin dalam mengkonseptualisasi, mengaplikasikan, menganalisis, menguraikan, dan atau mengevaluasi informasi yang didapat dari observasi, pengalaman, refleksi, logika, atau komunikasi  (Fuson, K., & Briars, D.,1990,hal. 5); dan (7) Cara berpikir logis yang memfokuskan pada apa yang harus dipercayai atau dilakukan (Hiebert, J. & Carpenter, T. P.,1992 hal. 21).
Manfaat Berpikir Kritis
Beberapa ahli psikologi kognitif (misalnya Paul Chance and Richard Mayer dalam Howson, G. et al., 1981) telah menggambarkan prosedur-prosedur dalam berpikir kritis. Mereka menulis tentang perbedaan antara cara berpikir kritis dan aspek-aspek berpikir yang lain, seperti misalnya cara berpikir kreatif.  Beberapa ahli filsafat (seperti Richard Paul dalam Steffe, L.P.,1991) mengingatkan  bahwa cara berikir kritis adalah suatu proses berpikir yang menuju ke suatu standar tertentu. Hanya terlibat dalam proses berpikir kritis tidaklah cukup, cara berikir kritis haruslah dilakukan dengan baik dan haruslah memberikan pengaruh pada perilaku kita sehari-hari. 
Para ahli psikologi behavioural telah menemukan beberapa definisi-definisi operasional yang berkaitan dengan daya berpikir kritis. Mereka telah meneliti  tugas-tugas siswa dan   metodelogi maupun strategi yang digunakan oleh  guru untuk membentuk perilaku-perilaku positif sesuai dengan hasil akhir yang diharapkan.  
Beberapa spesialis content (seperti Hickey and Mertes dalam Lerman, S.,1994) membuktikan bagaimana cara berpikir kritis bisa diajarkan dalam beberapa skill dan mata pelajaran yang berbeda, seperti dalam membaca, dalam pelajaran sastra, ilmu-ilmu sosial, matematika, dan ilmu alam. Ini  adalah salah satu kontribusi yang sangat penting karena daya berpikir kritis dapat berkembang dengan baik apabila hal tersebut diajarkan pada saat siswa belajar content atau mata pelajaran tertentu, dibandingkan dengan siswa harus mempelajarinya secara terpisah.
Apakah kemampuan berpikir divergen dan kritis terkait dengan Taksonomi Bloom ?
Bloom dan beberapa rekannya (1956) menulis salah satu buku  yang sangat penting: Taksonomi Kognitif. Mereka menyatakan bahwa proses “knowing” atau “mengetahui”  sebenarnya terdiri dari 6 tingkatan hierarkis, yaitu: pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Penelitian-penelitian selama 40 tahun terakhir ini, membuktikan bahwa 4 level pertama memang benar adalah hierarkis. Yaitu “mengetahui” sesuatu pada tingakatan pengetahuan  adalah lebih mudah dari tinngkatan pemahaman, dan seterusnya sampai pada tingkatan analisis. Namun hubungan antara tingkatan sintesis dan evaluasi tidaklah selalu hierarkis. Bahkan, ada kemungkinan bahwa kedua level ini bisa ditukar posisinya dalam hierarki tersebut dan ada kemungkinan juga bahwa keduanya merupakan   dua aspek yag sama sekali  berbeda.
Sintesis dan evaluasi adalah dua tipe berpikir yang memiliki beberapa kesamaan, namun berbeda dalam hal tujuan. Evaluasi (yang bisa dianggap sebagai pemikiran kritis) berfokus pada membuat suatu penilaian berdasarkan suatu pernyataan atau masalah. Sintesis (yang kurang lebih sama dengan pemikiran kreatif) memerlukan pengamatan pada bagian-bagian yang akan disintesis dan menemukan hubungannya, kemudian  menempatkan mereka dalam suatu perspektif yang baru.
Steedman, P.H., (1991) menyatakan bahwa proses sintesis/pemikiran kreatif dan evaluasi/pemikiran kritis ini memiliki hubungan yang setara namun berbeda. Dia mengklasifikasikan teknik-teknik yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah dan penentuan suatu keputusan dalam dua dikotomi. Pertama, satu set teknik yang   cenderung linear,  berangkai,  lebih terstruktur, lebih rasional, dan analitis, serta lebih  berorientasi pada tujuan; teknik-teknik ini sering digunakan untuk mengajarkan latihan-latihan berpikir kritis. Perangkat set teknik yang kedua cenderung lebih holistik dan paralel, lebih intuitif dan emosional, lebih kreatif, lebih visual, dan lebih  kinestetik; teknik-teknik ini sering digunakan untuk mengajarkan kemampuan berpikir kreatif. Perbedaan ini juga berkaitan dengan kemampuan berpikir dengan menggunakan otak kiri (analitis, serial, logis, objektif), dan otak kanan (global, paralel, emosional, dan subyektif).  
Salah satu masalah yang muncul dengan adanya definisi di atas, adalah bahwa cara berpikir yang “baik” dianggap sama dengan cara berpikir kritis. Ini berarti bahwa cara berpikir kreatif adalah komponen dari cara berpikir kritis. Perlu dikaji secara konseptual dan empiris perluasan definisi tersebut.  Hal ini karena anggapan bahwa cara berpikir yang “baik” sama dengan cara berpikir kritis juga dapat membawa dampak negatif, yaitu kemungkinan adanya kesalahan konsep yang bisa menyesatkan bagi para pendidik.  Harus dipahami   bahwa cara berpikir yang “baik” itu  mencakup banyak aspek.  Prilaku kritis dan kreatif hanyalah salah satunya. Berbagai cara  berpikir yang digolongkan kedalam cara berpikir “tidak  kritis” seperti cara berpikir habitual (berpikir berdasarkan hal-hal yang sering dilakukan sebelumnya tanpa mempertimbangkan data-data atau perubahan yang ada); brainstorming (mengatakan apapun yang ada di dalam pikiran tanpa mengevaluasinya terlebih dahulu, cara berpikir prejudis (mengumpulkan bukti-bukti atau pernyataan untuk mendukung suatu konsep atau dugaan tanpa mempertanyakan kebenaran data yang didapat); atau cara berpikir emosional (merespon suatu pesan secara emosional tanpa terlalu memperhatikan substansinya). Setiap cara berpikir ini mempunyai keuntungan dan kerugiannya masing-masing yang tergantung pada konteks penerapannya, namun ada situsi-situasi tertentu dimana cara berpikir yang satu akan lebih tepat diterapkan daripada cara berpikir yang lainnya.
 Permasalahan yang lainya adalah masih adanya kebingungan terhadap bagaimana implementasi konsep berpikir kritis dalam  praktiknya (misalnya bagaimana dalam praktik di kelas membedakan antara emosi dan kognisi; feeling dan logika). Berkaitan dengan masalah ini, Tama (dalam Parnes, S. J.,1992) menggunakan istilah "keteguhan hati untuk tidak berubah kecuali jika ada bukti-bukti yang jelas’, sedangkan Mertes (dalam Parnes, S. J.,1992)  menggunakan “perilaku reflektif” dalam definisinya. Ini membuat kesulitan dalam  membedakan kemampuan berpikir kognitif dengan perilaku-perilaku atau kecenderungan-kecenderungan untuk menggunakan skill-skill tersebut.
Dari pembahasan di depan kiranya perlu ditegaskan bahwa matematika secara natural merupakan kegiatan mental, sehingga konsep  berpikir kritis hendaknya dipandang  sebagai kegiatan mental yang menuntut kedisiplinan, dan konsistensi  dalam mengevaluasi setiap argumentasi, maupun proposisi  yang berkaitan dengan masalah matematika yang akan dipecahkan

Contoh Pengembangan Kompetensi Berpikir Divergen dan Kritis dalam Pembelajaran Matematika
Setelah dibahas secara memadai pengertian serta definisi berpikir divergen dan kritis di depan, kini saatnya untuk secara lebih konkret mengembangkannya dalam pembelajaran matematika. Dalam hal ini, kembali harus ditegaskan bahwa untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam berpikir divergen dan kritis, maka perspektif baru perlu dikembangkan  secara menyeluruh,  dari tahapan perencanaan kurikulum, design model pembelajarannya, pengembangan perangkatnya sampai asesmen dan evaluasi belajarnya.   Namun dalam aritikel ini,  hanya dipaparkan contoh pengembangan kemampuan berpikir divergen dan kritis beserta indikatornya, dilengkapi dengan contoh masalah matematika open-ended. Melalui proses pemecahan masalah matematika open-ended ini diharapkan peserta didik dapat mengembangkan kemampuan berpikir divergen dan kritisnya.
No
Kompetensi Berpikir Kritis
Indikator
1
Investigasi konteks dan spektrum  masalah
Menghasilkan berbagai pengandaian, permisalan, katagori, dan persepsi untuk memperluas/mempersempit spektrum ide masalah.  
2
Merumuskan masalah mate-matika
Merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang memberi arah pemecahan untuk mengkonstruksi berbagai kemungkinan jawabannya.
3
Mengembangkan konsep jawaban dan argumentasi yang reasonable  
Menyusun berbagai konsep jawaban, merumuskan argumen-argumen yang masuk akal, menunjukkan perbedaan dan persamaannya
4
Melakukan deduksi dan induksi
Mendeduksi secara logis, memberikan asumsi logis membuat proposisi, hipotesis, melakukan investigasi /pengumpulan data. membuat generalisasi dari data, membuat tabel, dan grafik, melakukan interpretasi terhadap pernyataan
5
Melakukan evaluasi
Melakukan refleksi dan interpretasi kembali terhadap hasil dan proses pemecahan masalah yang telah dilakukan,  untuk melihat sekali lagi lebih dalam, dan menemukan kemungkin ide dan perspektif penyelesaian alternativ.

Sebagai contoh, dalam hal ini digunakan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah. Untuk itu pertama-tama harus disiapkan masalah matematika yang akan dibahas. Dalam hal ini, masalah matematika terbuka (open-ended) yang memiliki lebih dari satu jawaban yang benar dan berbagai prosedur  pemecahannya. Hal ini dapat dimulai pertama-tama dengan mencermati masalah-masalah/ soal-soal matematika konvensional yang ada di buku-buku pelajaran sekolah yang biasanya berbentuk closed-ended, yaitu yang memiliki sebuah jawaban yang benar dengan sebuah prosedur pemecahan yang pasti pula. Selanjutnya, masalah tersebut dikonversikan menjadi masalah matematika open-ended yang memiliki lebih dari satu jawaban yang benar, serta lebih dari satu prosedur pemecahan. Hal ini biasanya dilakukan dengan menggunakan prinsip inversi maupun reduksi.  Berikut ini paparkan kedua jenis masalah matematika tersebut (Sudiarta, P., 2003c).

Masalah  1 (closed-ended atau well structured problem) :
Seekor Kerbau beratnya 10 kali berat badannya Si Putu. Jika berat badan Si Putu 20 kg, berapakan berat badan  Kerbau itu ?

Pada masalah 1 ini,  masalah matematika disajikan secara explisit, prescribe dan predetermined, sehingga jawabnya pun gampang ditebak oleh siswa (immediate solution), sebab:
Ø      konteks konsep matematikanya sudah diberikan secara explisit, yaitu perkalian (perhatikan: Seekor Kerbau beratnya 10 kali berat badannya Si Putu)
Ø      Hubungan antara berat kerbau dan berat Si Putu juga diberikan secara explisit yaitu 10 x
Ø      Berat Si Putu juga diberikan secara explisit, yaitu 20 kg
Ø      Ditanya: Berat Kerbau
Dari analisis tersebut, nampak bahwa yang diperlukan cukup keterampilan dalam mengalikan bilangan. Tidak ada prosedur lain, dan tidak ada jawaban lain.
Jawaban siswa yang diharapkan adalah sebagai berikut:
(1)    Berat Kerbau = 10  x berat badan Putu (diketahui secara explisit)
(2)    Berat badan Si Putu = 20 kg (diketahui secara explisit)
(3)    Prosedur:  menggunakan konsep perkalian (diketahui secara explisit, dan tidak ada cara lain)
(4)    Penyelesaian: Berat Kerbau = 10 x 20 kg =200 kg (substitusikan (2) pada (1) : jawaban tunggal, prosedur tunggal).

Inilah yang disebut soal terutup atau well structured problem  yang sering dijumpai dalam buku-buku pelajaran sekolah, yang hanya memerlukan peng-gunaan keterampilan dasar matematika (mathematical basic skill)  untuk memecahkannya, sebaliknya kurang memerlukan kemampuan berpikir divergen dan kritis. Seperti terlihat dalam contoh 1, untuk dapat memecahkannya siswa cukup menggunakan keterampilan dasar perkalian bilangan, selanjutnya semuanya sudah dinyatakan secara jelas dalam rumusan soal.

Bagaimana jika soal tersebut diubah menjadi sebagai berikut :
Masalah 2  (open-ended problem)
Seekor Kerbau beratnya 200 Kg, berapa orang anak yang kamu perlukan agar jumlah semua berat badan mereka sama dengan beratnya kerbau itu?

Pada contoh 2 ini masalah matematika dirumuskan sedemikian rupa sehingga menuntut siswa untuk melakukan investigasi konteks, sebab tidak semua data diberikan. Misalnya: karena berat masing-masing anak tidak diberikan, maka dalam hal ini diperlukan kemampuan berpikir divergn dan kritis untuk membuat keputusan matematis yang reasonable. Artinya, anak harus mengambil keputusan, misalnya dengan mengandai-andaikan.   Anak harus membuat investigasi dalam menentukan pengandaian yang masuk akal, dan dapat dipertahankan baik nilai logis-matematisnya ataupun nilai realitas-kontekstualnya.  Misalnya, jika diandaikan bahwa berat badan anak-anak itu semuanya sama dan masing-masing 20 kg. Berarti soal bisa dipecahkan, dengan konsep dan prosedur pembagian yaitu: 200 : 20 = 10, jadi diperlukan 10 orang anak dengan berat badan masing-masing 20 kg. Ini belum selesai, karena  pengandaian ini baru masuk akal secara algoritma matematis (mathematically make sense and reasonable), tetapi nilai realitasnya perlu diuji, dengan bertanya, apakah realistis mengandaikan semua anak-anak beratnya masing- masing sama ?  Anak bisa membuat pengandaian yang lebih dekat dengan kenyataan misalnya; Beberapa orang anak beratnya 20 kg, dan beberapa orang anak lainnya  beratnya 15 kg. Sehingga konsep dan prosedur penyelesaiannya akan menjadi kalimat matematika terbuka:   atau dalam bahasa matematika formal  20 x + 15 y = 200, dengan x dan y bilangan bulat positif,  solusinya pun lebih dari satu, misalnya x  = 1   dan y = 12 ( jadi ada  seorang anak dengan berat badan 20 kg dan 12 anak dengan berat badan 15 kg), solusi yang lain misalnya x = 4 dan y = 8, dst.  Di sini jelas terlihat, bahwa bukan solusinya yang menjadi tujuan, atau yang menjadi kriteria penilaian, tapi bagaimana anak mengambil keputusan dalam investigasi konteks matematika, bagaimana anak membuat argumentasi-argumentasi matematis dan kontekstual, bagaimana anak mengkomunikasikan dan mempertahankan  prosedur yang mereka lakukan. Secara umum untuk soal "open ended" pada contoh 2 tadi dapat diberikan catatan sbb.:
Ø       Tidak  ada konsep, operasi atau   prosedur  matematika yang diberikan secara explisit, siswa harus mengambil keputusan sendiri tentang konsep dan prosedur yang ingin dilakukan, mencermati dan menebak sendiri solusi yang akan didapatkan. Konsep  matematika yang mungkin digunakan  pada contoh ini misalnya: Pembagian, Perkalian, Penjumlahan Berulang, atau pun Persaman Terbuka dengan 2 variabel berupa bilangan bulat positif, tergantung dari kecenderungan intelektual individual siswa, berdasarkan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman mereka.
Ø      Ada data yang harus dilengkapi sendiri oleh siswa, dalam hal ini data tentang berat badan anak. Ini memerlukan kemampuan siswa untuk berpikir kreatif dan produktif dalam mengambil keputusan yang beralasan (reasonable decision) atau membuat estimasi  yang kuat (reasonable estimation), berupa pengandaian yang masuk akal terhadap berat badan anak tadi.
Dari uraian dan analisa contoh masalah open ended  pada contaoh 2 tadi, dapat dilihat betapa pentingnya penerapan pendekatan pembelajaran berorientasi masalah open ended untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa itu sendiri. Alasannya adalah penerapan pembelajaran berdasar masalah open ended seperti yang ditunjukkan secara jelas dalam contoh 2  tadi,  membuka ruang selebar-lebarnya, untuk melatih dan mengembangkan semua komponen-komponen kompetensi ranah pemahaman yang meliputi:  (a) memengerti konsep, prinsip dan ide-ide  matematika yang berhubungan dengan tugas matematika (conceptual understanding), (b) memilih dan menyelenggarakan proses dan stretegi pemecahan masalah (processes and strategies), (c) menjelaskan dan mengkomunikasikan mengapa strategi itu berfungsi (reasoning and communication), dan (d) mengidentifikasi dan melihat kembali alasan-alasan mengapa solusi dan prosedur menuju solusi itu adalah benar (interpret reasonableness) (bandingkan Schoenfeld, 1994;1997; Sudiarta, 2001,2003b).

3.      Penutup
Dari pembahasan di dapat disimpulkan bahwa pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang antara lain meliputi kemampuan berpikir divergen dan kritis sangat lah penting bagi peserta didik, untuk meningkatkan kemampuan daya saing mereka dalam era global pada abad ke-21 ini. Walaupun pengertian dan definisi tentang konsep kompetensi berpikir  divergen dan kritis beragam, namun hal itu harus dipandang secara objektif dan realistik sebagai spektrum untuk memperkaya khasanah. Sedangkan, pada tataran implentasi di depan kelas, harus disesuaikan dengan kharakteristik mata pelajaran masing-masing. Untuk pembelajaran matematika hal ini sudah mulai mendapat perhatian dan bahkan menjadi perspektif baru. Pendekatan pemecahan masalah matematika open-ended adalah salah satu model pembelajaran yang menekankan pengembangan kompetensi berpikir divergen dan kritis tersebut. Namun demikian ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan dan dan implementasi  kompetensi berpikir divergen dan  kritis, yaitu  (1) Hendaknya berhati-hati dalam mendefinisikan konsep kemampuan berpikir divergen dan kritis,  perlu membedakannya dengan konsep-konsep yang mirip seperti cara berpikir kreatif atau pun cara berpikir yang “baik, dan (2) Hendaknya diidentifikasi perilaku-perilaku yang diharapkan dan sub-task yang berhubungan dengan kemampuan berpikir divergen dan kritis untukmengembangkan definisi-definisi yang operasional dan disesuaikan dengan kharakteristik bidang studi.
Di samping itu, kemampuan berpikir divergen dan kritis adalah suatu hal yang kompleks dan kita tidak cukup hanya mengharapkan bahwa satu metode pengajaran akan cukup untuk mengembangkan komponen-komponen kemampuan berpikir kritis ini.  Walaupun memungkinkan untuk mengembangkan  kemampuan berpikir divergen dan kritis dan komponen-komponennya dalam pembelajaran, sebagai suatu skill yang terpisah, kemampuan berpikir kritis ini akan sangat optimal bila  diintegrasikandengan aspek-aspek keilmuan yang lain, misalnya matematika dipadukan dengan IPA dalam bentuk pembelajaran terpadu.


DAFTAR PUSTAKA

Beaton, A.E.et al., (1996). Mathematics Achievement in The Middle School Years: IEA's Third International Mathematics And Science Study (TIMSS), Boston: Center for Study of Testing, Evaluation, and Educational Policy, Boston College.
Confrey, J., (1991). Learning to Listen : A Student's Understanding of Power of Ten, in Von Glasersfeld, E., Radical Constructivism in Mathematics Education, p.111-138, Netherlands : Kluwer Academic Publisher.
Ernest, P., (1994a). Constructing Mathematical Knowledge: Epistemology and Mathematics Education, London : The Falmer Press.
Ernest, P., (1994b). Social Constructivism and the Psychology of Mathematics Education, in Paul Ernest, Studies in Mathematics Education Series 4, p. 62-72, London : The Falmer Press.
Freire, P., D'Ambrosio, U., & Do Carmo Mendonco, M., (1997). A conversation with Paulo Freire. For the Learning of Mathematics, 17(3), 7-10.
Fuson, K., & Briars, D., (1990). Using a base-ten blocks learning/teaching approach for first- and second- grade place value and multidigit addition and subtraction. Journal for Research in Mathematics Education, 21(3), 180-206.
Hiebert, J. & Carpenter, T. P., (1992) Learning and teaching with understanding, In Grouws, D. A. (Ed). Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. NCTM
Hiebert, J., Wearne, D., (1993). Instructional tasks, classroom discourse, and students’ learning in second-grade arithmetic. American Educational Research Journal, 30(2), 393-425.
Isaksen, S. G. , Dorval, K. B. , & Treffinger, D. J. (1994). Creative approaches to problem solving. Dubuque, Iowa: Kendall Hunt Publishing Company
Howson, G. et al., (1981). Curriculum Development in Mathematics, p. 84-101, London: Cambridge University Press.
Lerman, S., (1994 ). Articulating Theories of Mathematics Learning, in Paul Ernest, Studies in Mathematics Education Series 4, p. 41-49, London : The Falmer Press.
Parnes, S. J. (1992). Source book for creative problem solving. Buffalo, NY: Creative Education Foundation Press.
Steedman, P.H., (1991). There is No More Safety in Number: A New Conception of Mathematics Teaching, in Von Glasersfeld, E., Radical Constructivism in Mathematics Education, p.1-11, Netherlands : Kluwer Academic Publisher.
Steffe, L.P., (1991). The Constructivist Teaching Experiment, in Von Glasersfeld, E., Radical Constructivism in Mathematics Education, p.177-194, Netherlands : Kluwer Academic Publisher.
Sternberg, R. J. & Lubart, T. I. (1991). An investment theory of creativity and its development. Human Development, 34, 1-31.
Sudiarta, P., (2002a). Constructivism and Its  Epistemological Consequences to Teaching Mathematics. Berlin: ISSM 2002
Sudiarta, P., (2002b). Radical Constructivism and Its Implication for The Concept of Teaching and Learning. Hamburg: SKET/ ASI 2002 
Sudiarta, P., (2002c). Knowledge Formation and Knowledge Construction: A Constructivist Perspective.  Hamburg: SKET/ ASI 2002     
Sudiarta, P., (2003a). Impulse der Schule des Konstruktivismus Fuer Neuere Konzepte des Lehrers und Lernens, Aachen: Shaker Verlag Muenchen
Sudiarta, P., (2003b). Impulse der Schule des Konstruktivismus Fuer Neuere Konzepte des Lehrens und Lernens: Am Beispiel Mathematikunterricht. Dissertation: Universitaet Osnabrueck, Jerman
Sudiarta, P., (2003c). Pembangunan Konsep Matematika Melalui  "Open-Ended Problem": Studi Kasus Pada Sekolah Dasar Elisabeth  Osnabrueck Jerman, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, IKIP Negeri  Singaraja: Edisi Oktober 2003  
Sudiarta, P., (2004). Mencermati Kurikulum Berbasis Kompetensi: Sebuah Kajian Epistemologis dan Praktis, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus Dies Natalis IKIP Negeri Singaraja Feb.2004.
Vehar, J., Firestien, R., & Miller, B, (1997). Creativity unbound. Williamsville, NY: Innovation Systems Group.

0 komentar:

Post a Comment

Search This Blog